CERITA PENDEK

  Berhenti Sebelum Terluka #2

Written By : Dianathalie Julianthy


    Sebuah awal baru untuk memulai lembaran baru memang tidaklah mudah, tidak segampang pikiran Alan sebelumnya. Lelaki itu berfikir kalau Eve luluh dengan semua usahanya, dia akan lebih gampang untuk membuat hari-hari gadis itu lebih istimewa. Nyatanya, tidak.

    Malam itu, sejak Alan memeluk Eve mantan kekasihnya, dia fikir gadis itu akan menerima dirinya kembali, memang tidak ada balasan pelukan disana, bahkan tidak ada pembicaraan diantara mereka hingga Alan mengantar Eve pulang ke rumahnya dengan selamat. 

    Keesokan harinya, lelaki itu malah binggung bagaimana menyapa gadis itu, walau hanya via whatsapp saja. Jemarinya kaku untuk mengetik ucapan selamat pagi, otaknya beradu dengan hatinya, dia takut jika hanya akan menganggu gadis itu.

    Begitu kaku dirinya menghadapi situasi menengangkan pagi itu, selama dua tahun dia tidak pernah bisa menyapa gadis itu. Lalu? Bagaimana ia berhasil bertemu dengan Eve malam itu, yang membuat Eve melewati 6 jam untuk bertemu dirinya?

    Jangan dibahas, bukan dia pelaku utama yang menghubungi Eve, lelaki itu meminta sepupunya Herry untuk mengomentari Newstory milik Eve yang mengatakan dia akan ke kota ini. Singkat saja Eve menyetujui permintaan sepupu Alan. Begitulah mengapa ia bisa bertemu Eve. Tapi untuk pagi itu ceritanya sedikit berbeda, dia harus menghubungi sendiri gadis yang ia cintai itu.

    Ditariknya nafas panjang, dan dengan cepat jemarinya mengetik di papan ketik ponsel layar sentuhnya. “Pagi, Eve…” mengirim. Beberapa menit menunggu centang abu-abu itu membiru. Lelaki itu gugup sendiri menunggu Eve yang tengah mengetik.

    “Iya, pagi.. ada apa?” balas Eve.

    “Enggak boleh ya aku chat kamu?” tanya Alan.

    “Ini jam 5 pagi Alan. Ada apa?”

    Alan menyadari jam yang ditulis Eve, lelaki itu baru saja bangun dari tidurnya, seketika merindu dan berkutat dengan hati dan otaknya, membuatnya tak sadar akan waktu.

    “Oh, nggak…”

    “Oke.”

    Singkat. Setelah itu Alan mengurung niatnya untuk membalas, seharusnya ia menunggu pagi. Hari-hari singkat itu berlalu perlahan-lahan. Alan berusaha mengajak Eve keluar untuk nge-date, tapi gadis itu kadang meminta maaf karena ia sibuk dengan pekerjaannya, kadang gadis itu menolaknya langsung. Seperti tidak ada kesempatan untuk Alan masuk ke dalam hidupnya.

    Kadang disaat malam diantara jam 9, Alan menelfon, niat hatinya ingin mendengar suara gadis itu. Eve memang mengangkat telfon hanya beberapa detik, itupun hanya untuk mengatakan “Alan, aku sibuk.” yaa.. hanya mendengar itu dengan sabar Alan menutup telfonnya.

    “Apa aku harus menyerah?” lelaki itu berkali-kali bertanya pada dirinya sendiri. Eve benar-benar tidak pernah bisa meluangkan waktunya untuk Alan selama ia ada di kota ini. Tiga bulan terakhir sudah seperti buang-buang waktu menghadapi sikap Eve yang mengabaikan Alan.

    Besok adalah hari kembalinya Eve ke kota lain tempat ia bekerja, Alan memohon dengan sangat pada Eve agar mau menemui dirinya untuk terakhir kali. Ya, tidak ada salahnya, pikir Eve merespons telfon dari Alan sore itu.

    Eve tengah bersiap menemui Alan, gadis itu sudah lelah dengan semua usaha Alan, dia hanya mau lelaki itu benar-benar berhenti kali ini berharap pada dirinya. Ditengah-tengah kegiatan Eve yang masih memoles lipstik di bibirnya, sang Ibunda mengetuk pintu.

    “Nak, ada Mas Alan dan orang tuanya di depan, hayuu turun…” ajak sang Ibunda, Eve merespon biasa saja awalnya, ia terkejut seketika begitu mencerna kata-kata sang Ibunda. “Siapa Bun?” pekiknya.

    Belum sempat sang Ibunda menjawab, Eve segera keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu, disana ada Alan, Tante Mina dan Om Hardi kedua orang tua Alan. Begitu Alan mendapati paras cantik Eve yang melihatnya heran dari ambang pintu ruang tamu, dia mulai tersenyum. Hanya Eve yang mengangggap senyum itu seperti senyum kemenangan. Eve menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan situasi yang ada di depannya.

    Sang Ibunda datang dari belakang dan menarik pelan pergelangan tangan anak gadisnya itu dan menuntunnya untuk duduk, sebelum itu ia menyalami dengan sopan kedua orang tua Alan.

Setelah duduk, Eve menatap tajam ke arah Alan, tatapan seolah bertanya dengan kesal “Apa yang kau lakukan?!”. Balasan tatapan oleh Alan dengan senyum lembut seolah menjawab “Tenang, ini untuk kita..” Eve memutar bola matanya tak percaya dengan senyuman itu. Kedua orang tuapun membuka pembicaraan, lalu Alan berdiri untuk menyampaikan maksud hatinya.

    “Saya Alan, seperti yang Om dan Tante ketahui, saya dan Eve memang pernah menjadi sepasang kekasih yang sempat kami sembunyikan status itu empat bulan setelah pacaran, namun tidak baik pacaran seperti itu. Akhirnya kedua orang tua mengetahui hubungan kami, namun dua tahun berjalan kami memutuskan untuk berpisah, hingga kami kembali bertemu lagi tiga bulan lalu, saat Eve kembali kemari, membuat saya semakin yakin, jika Eve adalah gadis yang saya cintai…” dengan lembut Alan menjelaskan, Eve mendengar itu hanya melongo, sembari menggeleng kecil.

    “Kedatangan saya dan orang tua kemari, untuk melamar putri pertama om dan tante, yang bernama Evenyelin, yang sudah membuat hari-hari saya terasa lebih indah selama 4 tahun terahir. Apakah Om dan tante menerima lamaran saya?” lanjut permohonan Alan secara sopan.

    Eve tak percaya mendengar lamaran itu dari Alan, dihati kecilnya yang terdalam senang dengan pernyataan itu, namun… otaknya menolak, ini tidaklah benar. Bergantian matanya melihat kedua orang tuanya, Sang Ayah angkat bicara..

    “Kami sangat menghargai maksud dan tujuan saudara Alan dan keluarga kemari, saya selaku sebagai Ayah, mengiginkan yang terbaik untuk anak perempuan kami. Secara pribadi Alan sudah saya kenal dengan baik, dan memang cocok untuk menjadi mantu…” ujar sang Ayah sembari tersenyum melihat ke arah putrinya yang membalas senyumnya tanpa arti. “Namun.. semuanya itu kembali pada pilihan anak kami, dia juga paling mengerti dengan dirinya dan hatinya, jadi separuh keputusan akan saya berikan kepada Eve.. bagaimana nak?” tanya sang Ayah kemudian memecah lamunan singkat anak gadisnya.

    “Eg..” hanya kata itu yang Eve keluarkan, Alan menanti dengan gugup jawaban dari Eve. Ia begitu mendadak merencanakan semua ini, ia hanya berharap Eve berubah pikiran, akan dirinya. Agar gadis itu mau menerima dirinya dengan cara seperti ini. Cara yang menurut Alan adalah cara terakhir yang bisa ia harapkan.

    “Nak…” panggil sang Ibunda memegang jemari Eve yang dingin karena gugup, Eve mengembalikan fokusnya seketika, dilihatnya mata sang Ibunda dengan sayu.

    “Aku…” Eve tertunduk, ia seperti tengah dikerjai oleh Alan kini, bisa saja ini akal-akalan lelaki itu untuk menbuatnya kembali padanya, nafasnya menderu tak karuan. Pikirkan hati kecilmu Eve, pikirkan…. gumam Eve dalam hati ditengah situasi hening di ruang tamu rumahnya.

    Hati kecilnya berkata “Aku mau…” dan keluarlah kata-kata itu dengan lembut dari pita suara Eve. Senyum semringah penuh lega ditunjukkan kedua belah pihak keluarga. Eve tersenyum simpul pada Alan yang melihatnya penuh yakin, “Puas kau?” tatapan melotot itu menabrak mata Alan, Alan terkejut seketika, lalu tersenyum kemudian.

    “Terimakasih Om Aby yang sudah menerima sepenuh hati, terimakasih Eve atas jawaban yang melegakan.. Saya harap kedepan kita dapat membahas kelanjutannya..” Alan kemudian duduk lalu menyalami kedua orang tua Eve.

    Ketengangan tadi berganti dengan beberapa topik masa depan yang tengah di bahas kedua belah pihak malam itu. Eve beranjak berdiri, dengan segera mengkode Alan agar mengikutinya. Setiba di dapur Eve langsung menyilangkan kedua tangannya di perut, seperti akan menginterogasi Alan.

    Tatapan kesal ia lempar pada Alan, “Apa-apaan Alan?! Gak puas kau ganggu aku? Sampai ngelamar segala, sudah kubilang, kan. Berhenti. Aku malas sekali berkutat dengan perasaanmu itu.”

    “Aku nggak akan berhenti. Terimakasih sudah menerimaku, Eve…”

    Eve terdiam, mungkin dia sedikit menyesal dengan jawabannya beberapa menit lalu, tapi dia tak akan mungkin mengulang kembali keputusannya tadi. Eve menurunkan tangannya yang sempat ia silangkan, lalu maju mendekati Alan hingga jarak wajah keduanya hanya sejengkal saja, perlahan Eve mendekatkan wajahnya pada telinga Alan, lalu berbisik dengan pelan dan tajam.

    “Dengar ya.. Masih ada kesempatan, untuk berhenti- mengangguku, aku serius.”

    Seketika bulu kuduk Alan merinding mendengar hembusan tajam di telinganya, ketika ia hendak memegang lengan gadis itu, Eve berlalu begitu saja meninggalkannya di dapur.

    “Apa yang kulakukan ini salah?” Alan bertanya dan menggeleng menjawab dirinya sendiri, “Apa aku harus berhenti?” kembali ia bertanya, kembali pula ia menggeleng menjawab dirinya sendiri.

    Eve yang masih di lorong antara dapur dan ruang keluarga, melihat Alan yang  berdiri ditempatnya tadi masih tertunduk.

    “Apa aku terlalu kasar padanya? Bukan ini yang kuinginkan…” gumamnya dalam hati kecilnya. Eve berbalik lalu kembali ke ruang tamu, bercengkrama pada kedua calon mertuanya sembari memasang wajah bahagianya sebagaimana ekspresi seorang wanita yang paling beruntung di dunia. padahal… bukan ini yang diinginkannya.

 

Bersambung….

----

Hai-Hai Readers...!!!

Aku kembali bawakan Cerita Pendek kelanjutan dari "Berhenti sebelum terluka #1". Terimakasih telah menunggu dan mau membaca Cerita Pendek dariku.. akan ada kelanjutannya lagi, so.. ya.. jangan lelah membaca ya...

NO COPY PASTE!!!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Another Absurd Romance

INI UNTUKMU

Another Absurd Romance