CERPEN SERIES -TENTANG BULAN-

FEBRUARI

Wrtitten By : Dianathalie Julianthy


    Bulan ini akan menjadi bulan yang bersejarah di hidupku, dimana hari ini adalah hari ulang tahun David pacarku selama tiga tahun ini, yang begitu kusayangi, dan besok hari jadi kami yang ke tiga tahun. Semenjak pacaran 3 tahun lalu, kami cukup kesulitan dalam menjalaninya, karena hubungan jarak jauh ini, terkadang dia harus ke kota ini, Balikpapan, untuk menemuiku. Kadang aku ke Jogja untuk menemuinya, tapi hingga hari ini kami masih baik-baik saja.

    Yaa, walaupun dihari bersejarahku maupun dia kami hanya bisa merayakannya melalui via telfon atau video call saja, tapi.. tidak memudarkan rasa cintaku padanya. Jarak tak membuatku lelah menjalani hubungan dengannya.

    Untuk merayakan ulang tahun David ditambah hari jadi kami, aku berencana akan ke Jogja hari ini, penerbangan sore hari, tanpa mengabarinya. Sebelum makan siang, aku segera bertemu Kepala Bidang untuk memberikan surat pengambilan cutiku bulan ini. Wanita paruh baya bernama Asti selaku kepala bidangku mengijinkan, empat hari sepertinya cukup untuk menikmati waktu bersama David.

    Sambil menikmati makan siang, kuceritakan pada Rara teman kantorku mengenai rencanaku ke Jogja. Selesai makan, kami kembali ke kantor dan aku bersiap akan menuju ke bandara. Rara akhirnya menanggapi perkataanku, pasalnya dia sedari tadi hanya menyimak sambil menghabiskan ayam gepreknya.

    “Serius nggak mau nelfon dia lebih dulu?” tanya Rara padaku.

    “Yaa, nggak. Aku mau kasih kejutan dong ke dia.” jawabku.

    “Astaga, kok aku jadi gugup sih dengernya? Haha..”

    “Kulihat kayaknya dia mau lamar aku deh, Ra..”

    “Haa? Serius? Kamu bisa rasakan itu?”

    Aku mengangguk, “Minggu lalu, dia tiba-tiba kirim foto cincin ke aku, cantik banget..”

    “Wah.. bener tuh, kayaknya mau lamar kamu, Lis…”

    “Pas aku nanya itu untuk apa, dia bilang temennya nanya ‘apa cincinnya bagus buat ngelamar?’ Ya, mungkin dia nggak tau bagus apa nggak, jadi dia nanya pendapatku, tapi.. kayaknya cuma akal-akalan dia aja buat beralasan..”

    “Uhh, manisnya… terus nanti kalian bakal ngelola kafe bareng dong di Jogja, sebagai pasangan baru yang hidup bahagia gitu?”

    “Hehehe, bisa jadi… Tunggu ya, aku akan kembali dengan cincin disini..” kataku pada Rara sambil menggerakkan jari manisku di depannya.

    “Disini ya.” tunjuk Rara pada jari manisku.

    “Yup.. aku pergi yaa.. Daaahhh…”

    “Daaahhh Lisaa….”

    Tiba dibandara, aku berniat ingin mengambil video perjalananku kali ini, kurasa semuanya akan berjalan dengan baik hari ini.

    “Hai, David… saat ini 13 Februari, pukul 14.35, dua jam sebelum mendarat di Jogja, kamu nggak tahu kalau aku sedang menuju ke sana. Aku merekam ini karena firasatku mengatakan kita akan mengalami momen bersejarah bersama. Aku juga akan nunjukkin ini ke calon anak-anak kita. Ahhh… jadi malu..” kataku memulai video di depan kamera yang kugenggam.

    Tiba di depan loket tiket, kuberikan tiket yang telah kupesan kemarin melalui aplikasi online. “Aku lagi ngantri, ngasih tiket ke mba-mba yang jaga loket, mudahan dapat kursi yang empuk dan nyaman..” kataku lagi, lalu pelayan loket memberikan tiket yang telah diberi cap penerbangan.

    “Nona Lisa Emeli, anda kami alihkan ke penerbangan kelas bisnis, ini promo dari aplikasi yang anda gunakan.. Selamat menikmati perjalanan..” kata sang pelayan padaku.

    “Terimakasih..” kataku pada pelayan, “Wah.. senengnya dapat pernerbangan kelas bisnis, firasatku benerkan, kayaknya semesta merestui pertemuan kita kali ini deh, David..” kataku ke depan kamera.

    Ini pertama kali naik penerbangan kelas bisnis, kabin terasa luas dan kursinya empuk dan nyaman, pramugarinya begitu ramah, setelah menerima segelas air putih hangat, aku kembali merekam. Dannn.. berniat untuk meminta salah satu penumpang memberikan ucapan selamat padaku. Kebetulan ada seorang wanita berambut pendek, berjas cokelat yang duduk di sampingku, dia fokus melihat tabletnya. Tapi tak masalah, jika kuganggu sebentar bukan?

    “Permisi.. Mba, bisa bantu saya sebentar saja?” tanyaku pelan.

    Dia menoleh tersenyum ramah, “Iya, ada apa?”

    “Saya sepertinya akan di lamar hari ini.. disini akan ada cincin.” kataku menunjuk, jari manisku.

    “Oya? Selamat ya, Mba..”

    “Terimakasih, Jadi saya mau merekam ucapan selamat, dan Mba mau memberikan ucapan selamat?” tanyaku.

    Dia mengangguk “Ohh, ya boleh Mba..” lalu ia memperbaiki posisi duduknya menghadap ke kamera.

    Aku mulai merekam, “Selamat atas lamaran anda, dan semoga dipermudah dalam mempersiapkan pernikahan nanti, semoga bahagia..”

    “Terimakasih Mba, oh.. nama saya Lisa.. maaf lupa kenalan..” kataku mengulurkan tangan.

    “Saya Laras..” katanya lembut membalas uluran tanganku.

    Selesai berkenalan, kami sembari menunggu penerbangan, berbincang mengenai pekerjaan, dia seorang perawat di salah satu rumah sakit besar di Balikpapan, dan akan dipindahkan ke rumah sakit di Jogja, atas permintaan orang tuanya, dan hal itu mempermudah dirinya dan kekasihnya untuk bersama. Ternyata orangnya suka ceritaan, membuat penerbangan kali ini tak terasa. Tiba di bandara, kami berpisah dan saling melambaikan tangan.

    Aku segera memberhentikan taksi dan berniat ingin belanja keperluan masak untuk David malam ini. Dia pasti sudah pulang kerja, dan sekarang pasti ada di kafe. Sampai di supermarket, aku kembali membuka kameraku dan mulai merekam.

    “Hai.. David, tebak aku udah dimana? Yap, aku mau belanja bahan buat masakin kamu masakan yang eennaaakkk banget, bolehkan?” kataku di depan kamera, sembari mendorong trolli dan menuju rak-rak bahan makanan. Memilih bahan terbaik dan tak lupa satu kotak kue ulang tahun, “Happy Brithday ke 28, David My Boo…” kataku pada pelayan yang hendak menulis diatas kue berlapis cokelat tersebut. Kurasa selesai dengan semua persiapan, kulanjutkan perjalananku menuju ke kafe milik David.

    Di halaman kafe yang sempit, ada Feri yang tengah menata pot bunga, kusapa dia, dia menyambutku hangat. Kunyalakan kameraku dan mulai merekam.

    “Feri.. apa kabar?” tanyaku.

    “Kabar baik Mba Lisa, masuk Mba.. ada Mas David di dalam...” katanya.

    “Terimakasih..”

    “Sama-sama..”

    “Nah, sekarang udah nyampe depan kafe..” kataku ke depan kamera, lalu mengarahkan ke papan nama kafe yang ada di depanku, yang bertuliskan “My Coffee Day”, “Sampai ketemu di dalam…”

    Aku segera masuk, Jaya sudah ada di depan pintu kafe menyambutku.

    “Apa kabar?” sapaku.

    “Baik Mba Lisa, tumben kemari?” kata Jaya.

    “Aku mau kasih surprise buat David, dia ada di ataskan?” kataku.

    “Iyaa Mba, ada.. Di atas lagi di renovasi Mba, Saya panggilkan Mas David aja?”

    “Nggak usah, aku aja yang ke atas..”

    Aku segera naik, aku gugup sekali ingin berjumpa dengannya, terakhir kali bertemu saat malam tahun baru. Kami begitu menikmati malam itu, sambil makan jagung bakar manis di puncak kota, sambil menikmati kembang api meriah yang hiasi langit malam yang cerah waktu itu. Kali ini akan menjadi pertemuan yang romantis untuk kesekian kalinya.

    Anak tangga kunaiki satu persatu, gugup ku berubah menjadi rasa penasaran. Suara tawa merdu seorang perempuan terdengar. Aku berhenti, kemudian melihat ke arah bawah, memastikan apakah ada pelanggan yang tengah tertawa. Tidak ada. Lalu suara siapa itu?

    “Udah ahh.. geli ihhh…” suara merdu itu memanja, diselingi tawa.

    “Udah apa?” suara berat terdengar, nada itu nada manja milik david.

    Aku memilih mempercepat langkahku. Tiba diambang pintu ruangan luas itu, ada hiasan-hiasan indah berwarna merah, beberapa balon putih dan merah melayang, lilin-lilin kecil ada di lantai, balon tulisan berwarna rosegold “Will you marry me?” ada di dinding. Diatas meja ada kue berukuran lumayan besar bertuliskan “I Love You”, yang terakhir.. punggung David membelakangiku tengah bercumbu dengan seorang perempuan.

    Melihat mereka begitu menyakitkan, aku yang tadinya begitu bahagia merasa dunia ini mengangkatku kini seperti terjatuh ke dalam jurang yang dalam, jurang pengkhianatan. Sesak di dadaku tak bisa kutahan, membuatku terjongkok, sambil menepuk pelan dadaku yang terasa sesak.

    Mereka masih bercumbu, belum sadar akan kehadiranku, sampai kulepaskan paper bag berisi belanjaan dari tanganku. David menghentikan aktifitasnya, matanya memelalak melihat kehadiranku.

    “Li-Lisa?” katanya tergagap.

    “Mba yang tadi?” kata perempuan yang kini wajahnya terlihat olehku, dia adalah Laras, wanita yang kutemui selama penerbangan tadi.

    “Mba?” tanya David heran.

    “Dia Mba yang aku ceritain tadi. Jadi dia yang mau kamu lamar apa aku?” tanya Laras.

    “Kalian udah ketemu sebelumnya di pesawat, ya?” tanya David entah pada siapa.

    “Katamu kalian sudah putus?” kata Laras.

    “Aku sudah-”

    Aku begitu tak percaya dengan situasi yang kualami saat ini, David ingin melamar siapa? Aku apa perempuan aneh itu?

    “David coba jelaskan..” kataku tegas.

    David berusaha tersenyum, “Lis.. Rambut kamu berubah ya.. cocok..” katanya, dia kini sedang beralasan.

    “Rambutku begini sejak terakhir kita ketemu, David..”

    “O-Oya.. Wa-wajahmu makin cantik..”

    “Ya, aku sedikit perawatan, tapi ini memang wajahku, David.”

    “Bu-bukan yaa…”

    “Kurang ajar!” teriakku, lalu tanpa berfikir panjang menamparnya, tepat di pipi kirinya, hingga ia terdorong ke dinding kaca, pelanggan dapat melihat kami dari bawah sana. Aku tak peduli.

    “Pelangganku Lis.. ssttt.. Aku sudah merenungkan untuk menjelaskan ini, Lis..” katanya memintaku diam.

    “Apa? Merenung? Gak usah sok bijak! Gimana kamu mau jelaskan, kalau kamu selingkuh dariku karena perempuan itu?” suara ku meninggi, kudorong dia kembali, hingga terbentur ke dinding kaca.

    “Jangan kasar Lisa, kasar itu nggak baik.. tenanglah..” katanya membujuk, nggak! Aku benci sitausi ini. Kudorong kembali dia, ini ketiga kalinya ia membentur dinding kaca, aku tak peduli dengan ringisan David sambil memegang bahunya. Anehnya, para pelanggan yang ada di bawah sana terlihat berkumpul melihat ke atas.

    “Lihat aku David!” kataku tegas.

    “Hentikan basa-basi kalian deh, akhiri dengan benar David!” kata Laras, sedari tadi dia hanya duduk melihatku mendorong David, kini dia sudah berdiri.

    “Iya, Laras..” David malah menurut.

    “Kamu diam aja!” kataku menunjuk Laras, matanya melotot melihatku.

    “Lis, jangan dorong aku lagi ya.” pinta David melangkah pelan ke arahku.

    “Kamu nggak lanjut ngerekam pakai kamera itu lagi?” kata Laras. Aku berbalik melihatnya, entah kenapa mendengar suaranya membuatku emosi. “Ini momen yang sangat pentingkan?” lanjutnya, dengan nada sombongnya.

    “Apa katamu?”

    “Aku masih bisa memberikan ucapan selamat padamu..” katanya sok manja.

    Wahh.. aku kesal melihatnya.

    “Tolong hentikan Laras..” suara David setengah berbisik dari belakangku.

    “Perempuan gila!” teriakku, kuangkat telapak tanganku hampir menamparnya, tangan David dengan segera menangkap pergelanganku.

    “Lisa.. berhenti..” suara David lembut memohon. “Jangan pukul dia, dia itu perawat, gimana nanti kalau wajahnya luka?” kata David. Dia membuatku muak.

    “Jadi, melukai wajahnya adalah masalah, sedangkan tidak ada masalah melukai harga diriku?” kataku masih meninggikan suaraku.

    “Ng-nggak, nggak gitu Lis.. gini-” kata David, segera Laras memotong “Dengar ya, aku benci situasi ini sama sepertimu, kenapa kamu nggak pergi setelah jambak rambutku aja? Daripada disini memperkeruh suasana.” kata laras ke arahku berbicara seolah benar. “Jangan berharap jari manismu itu indah.” lanjutnya, membuatku keheranan melihatnya yang begitu angkuh.

    Laras berlalu begitu saja menjauh dariku dan kembali duduk di sofa, dimana ia menontonku mendorong David sebelumnya.

    “Dasar perempuan gila! Kemari! Kujambak rambutmu!”

    David segera menahanku, “Lisa, jangan begini.. sadarlah, kita bisa bicara baik-baik..”

    “Begitu sadar aku akan menggantungmu David!” kataku lalu mendorongnya ke arah Laras yang duduk.

    “Okey, kasih aku alasan objektif yang se-enggaknya meyakinkan.” kataku berusaha tenang.

    “Alasan yang meyakinkan?” tanya David pelan, Laras melihat dengan santai ke arah kami berdua, seolah dia tahu alasan yang akan di berikan David padaku.

    “Ini bukan alasan yang sangat meyakinkan..”

    “Biarkan aku mendengarkan..”

    Beberapa detik terdiam, nafasku yang memburu begitu terdengar. David menarik nafas panjang.

    “Aku nggak tahu sejak kapan ini dimulai, tapi aku mulai benci mengangkat telfonmu 80 persennya, aku mulai berfikir ribuan kali jika ingin melintasi pulau menemuimu. Aku sendiri mulai memikirkan alasan bagaimana menjauhimu, tanpa kamu sadari. Aku bahkan berhenti menyimpan fotomu, setiap kali kamu ngirim foto selfiemu ke aku..” katanya, nada suaranya membuatku tak percaya dengan yang ia jelaskan, aku masih mendengarkan.

    “Saat aku mendengar lagu favorit kita, aku malah menyukai penyanyinya, ketimbang lirik yang selalu kamu ingin aku ingat kalau itu sama dengan isi hatimu untukku..”

    “Alasanmu detail juga ya, cuma itu?”

    “Nggak, masih ada.. dan ini alasan utamanya..” dia terdiam sejenak, aku menantikan alasan utama itu, apakah alasan itu bisa membuat ku sadar akan hubungan kami yang akan kandas ini.

    “Aku benci bertemu denganmu membahas tentang orang lain, aku benci makan bersama mu, bukankah kita harus menikmati waktu makan bersama dengan orang yang benar-benar kita cintai? Tapi.. denganmu, hal itu malah menjadi sebuah kewajiban. Aku makan bukan karena ingin, tapi karena terpaksa.”

    Aku mencerna setiap kata dari David, apakah aku salah selama ini menjalani hubungan dengannya? Aku rasa kami baik-baik saja selama ini..

    “Kalau kamu mau mengakhirinya begini, kenapa kamu kirim foto cincin itu?” tanyaku, karena semua keyakinan ini dimulai dari foto tanpa keterangan itu.

    David tertunduk, dia memegangi tengkuknya, dia lakukan itu jika ia tengah melakukan kesalahan. “Itu… karena nggak sengaja kirim ke kamu. Aku binggung ketika kamu malah membalasnya. Akhirnya aku berbohong, aku minta maaf Lisa.. Aku kurang pandai berselingkuh..”

    “Ibuku bilang, jika tidak mampu mencintai seseorang, tinggalkan dia sebelum dia terluka. Yang kamu lakukan ini buruk, David.”

    “Ya, aku tahu..”

    “Kita jangan pernah bertemu lagi..”

    David melihatku tanpa tahu arti tatapannya, entah kasihan, entah senang, entah dia sudah kehilangan ekspresi di depanku.

    “Lisa…” suara david lembut.

    Ssstt.. “Kini dia milikmu..” kataku pada Laras lalu pergi dari kedua manusia jahat itu.

    Aku segera menuruni tangga, David memanggilku mungkin ingin menghentikanku, mungkin ingin mengusirku secara halus, tidak, aku tidak butuh itu.. aku bisa pergi sendiri dari sini. Beberapa pasang mata melihatku penuh simpati, beberapa pasang mata terlihat kesal melihat David yang ada di belakangku.

    Aku benar-benar menyedihkan. Kenapa semesta mengijinkanku mengalami hal buruk hari ini? Kenapa tak disembunyikannya situasi tadi dari hadapanku? Kenapa aku tidak bisa menikmati pelukan hangat David begitu bertemu dengannya tadi? Kenapa? Aku bergumam menyalahkan semesta yang kupuji sejak tadi pagi.

    Aku keluar dari kafe, angin senja menyapa, tiba-tiba David berhasil meraih lenganku, dan membalikku menghadap dirinya, ada Laras yang mengikuti dari belakang David, berjarak agak jauh dari tempat kami berdiri kini. David menyebut namaku beberapa kali, entah apa lagi maunya.

    “Lepas, David..” kataku tegas.

    “Lis.. kalau kamu pergi begini, aku bisa menyesal..”

    “Lepas! Dia menunggumu.” kataku melihat Laras di belakang,

    Aku menahan air mataku yang ingin keluar, dadaku terasa sesak memintanya melepasku, tapi ini yang harus kulakukan, pergi darinya, tapi kenapa hati kecilku mengiginkan dia memanggilku sekali lagi dan membuat semua ini hanya prank? Hanya sebuah settingan.

    “Liss.. berhenti..” kata david, “Jangan ikuti dia, Vid.” suara Laras terdengar.

    Aku berhenti melangkah, perempuan itu benar-benar mengiginkan David.

    “Tapi..” jeda David.

    “Kalau kamu ikuti dia, kita putus dulu!” suara Laras menegas.

    Aku hanya tertawa kecil mendengar bacotan perempuan itu, dan dengan lemahnya, David yang penurut sepertinya menyerah akan diriku, dia menuju Laras. Suara langkah mereka menjauh.

    “Maafkan aku, Laras..” suara david terdengar.

    Dia meminta maaf pada perempuan itu, benar-benar sesuatu yang indah di dengar. Benar-benar sesuatu yang membuatku semakin sakit. Aku terjongkok di trotoar depan kafe, menengadah ke langit senja menangisi rasa kehilangan ini.

    “Jangan begini Lisa… jangan terlihat menyedihkan begini..” kataku pada diriku sendiri, lalu berdiri,dengan lemah berjalan menyusuri trotoar menjauh dari tempat kejadian perkara yang menyedihkan.

    Sepertinya aku harus berterimakasih pada semesta. Karena dengan semua skenario yang diberikan, membuatku terlepas dari lelaki brengsek macam David.

    “Semestaa.. jika Kau ingin diriku bahagia, ijinkan aku kembali memiliki cinta yang tulus dan sempurna.” pintaku memohon dalam hati, ditengah senja.

    Suara kaki berlari terdengar dari arah belakangku, sebuah tangan menyentuh bahu kiriku, membuatku mengangkat daguku karena terkejut. Aku berbalik memastikan seseorang yang telah menghentikan langkahku.

    “Liss.. Kameramu ketinggalan..” suara lembut seorang lelaki bertumbuh tinggi di hadapanku, aku sedikit menegadah melihatnya, ternyata dia adalah Josua, dan aku adalah cinta pertamanya dibangku SMA.

---

Hai-hai Readers....

Aku bawakan Cerita Pendek TENTANG BULAN : FEBRUARI. Dannnn... akan ada beberapa judul bulan yang akan menyusul.. so.. ya.. kuharap Cerita Pendek Series 'Tentang Bulan' ini tidak membosankan ya..

Jika ada kesamaan kejadian, tempat maupun tokoh, semuanya hanya kebetulan..🙏

Terimakasih telah berkunjung dan membaca tulisanku..

NO COPY PASTE!!!!

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Another Absurd Romance

INI UNTUKMU

Another Absurd Romance