CERITA PENDEK
KAMU, SENJAKU.
Written By :
Dianathalie Julianthy
Seperti Senja-Senja yang telah
kulewati beratus-ratus hari, Senja kali ini masih menyenangkan. Haruskah aku
tersenyum tiap kali menatap Senja dari berbagai sudutnya? Haruskah aku senang
begitu cahaya Senja menembus jendela kamarku? Setiap kali kulihat warna merah
merekah dilangit, kuteringat akan dirinya, lelaki penyuka Senja.
Kuanggap dirinya Senja kala itu,
karena Senja melambangkan kebahagiaan. Walau hanya sesaat keindahannya, dia
mampu menghantar matahari berpulang, dan menyambut malam dengan para bintang.
Bukankah terdengar indah jika dia adalah Senjaku? Dia yang menghabiskan waktu
sebentar saja denganku kala itu.
Huh! Sayangnya, kali ini selama
beratus-ratus hari yang sudah kulewati, ada sesal kecil dihatiku jika melihat
cahaya Senja melewatiku, sesal yang tertanam. Senja itu datang, setiap sore
membawa kenangan indah singkat itu. Haruskah aku masih tetap menyesalinya? Mana
bisa aku mengembalikan waktu kala itu, semua sudah tak ada, semua sudah hilang,
bahkan diapun tak akan ingat apa yang telah terjadi diantara kami, karena
kurasa hubungan kami layaknya Senja. Senja ‘sesaat yang membawa kebahagiaan’
senyum-senyum sendiri aku mengingat dia kala itu.
Kali ini, haruskah ada kesempatan
untukku bertemu Senja kembali? Sebuah paket berisi buku kelulusan, dan undangan
reuni terbuka ditanganku, inikah kesempatan yang diberikan itu? Akankah kami
bertemu? Akankah dia menatapku? Atau akankah dia menyapaku? Apa aku boleh
berharap demikian?
Drrrriiiiinnngggg…. Bunyi ponselku,
Sonya menelfon, sahabat masa kuliahku.
“Hallo Nya..” sapaku, “Ikutan
reuniankan?” tanyannya cepat, “Iya ikut.” Jawabku singkat. “Baguslah.. tapi
kuharap kamu jangan mengharapkan apa-apa ya, karena kurasa kamu akan termenung
sendiri disana, jadi ada aku, kamu jangan memikirkan hal masa lalu, okay?”
panjang lebar ia memintaku untuk mengikuti apa yang ia katakan, “Ya siap! Sonya..”
Seminggu kemudian, aku dan Sonya
menuju ke tempat tujuan, reunian ini akan berlangsung 3 hari dan itu adalah
waktu yang lama. Kurasa akan begitu lama, karena pikiranku akan terkunci selama
3 hari ke depan, dan akan kaku untuk 3 hari kedepan, dan akan tetap diam
melupakan apapun yang pernah terjadi dimasa lalu.
Begitu ramai teman-teman
seangkatan, saling bernostalgia, sembari duduk seraya menyantap kudapan yang
dihidangkan oleh pelayan resor. Tempat ini benar-benar indah, pemandangan
langit yang biru, hembusan angin yang menyegarkan, dan aroma laut yang
menenangkan. Kurasa memang aku membutuhkan sensasi liburan, pekerjaanku
akhir-akhir ini terasa berat.
Dari sekian wajah lama yang
kulihat, dan sekian tawa dan rindu yang kulihat, ada satu sosok yang memaku
pandanganku, Senja ada disana, dia sedang tertawa dengan menawan, dia masih
terlihat seperti yang dulu, senyuman dan tawa lepas itu selalu mempesona,
bertahun-tahun kulewati dengan semangat hanya karena mengingat indahnya
senyuman dan tawa lepas sosok Senja. Aku terpana karenanya, seketika ruang
terkunci dihatiku terbuka begitu saja. Aku rindu dia.
******
“Gry.. bisa berhenti menatapnya?
Dia sudah bahagia Gry.” Sonya mengingatkanku, aku melihatnya sendu, “Dia masih Senjaku,
Nya..” jawabku lesu.
“Kamu udah janji nggak akan ingat
dia, Gry..” Sonya meremas pelan pergelanganku, aku tahu sahabatku khawatir
dengan perasaanku ini, tapi.. “Aku harus mengatakan apa yang harus kukatakan,
Nya..”
“Please.. Gry, dia itu sudah
bertunangan, dia sudah bahagia, kenangan 6 tahun lalu sudah basi dan tak ada
diingatannya, jadi jangan membuat dirimu malu.” Sonya menekankan setiap
kata-katanya, kulihat lelaki itu sekali lagi, dia masih disana berbicara, dan
tersenyum.. setidaknya aku harus mengubur perasaan menahun inikan, jika tidak,
setelah lewat 3 hari ini, aku masih akan menganggap dia Senjaku.
“Dia bahagia itu karena keegoisanku.”
Aku tahu Sonya pasti tak setuju dengan kata-kataku barusan, tapi itu benar,
jika kembali ke enam tahun yang lalu, akulah yang bersalah. Aku egois
meninggalkannya.
“Ohh God! Gry… yuk ke kamar duluan,
kamu harus mandi dan menyegarkan diri..” Sonya menarik lenganku, sahabatku yang
satu ini menyebalkan. Dia tidak mengerti, aku tengah menyegarkan hati dan
pikiranku, dengan menatap Senja.
“Sonya, tahu nggak, tiap lihat dia
tersenyum dan bahagia, membuatku merasa bersalah… senyuman itu dulu sangat
berarti, tapi aku mengabaikannya dan meninggalkannya..” aku menggerutu di atas
kasur seraya memeluk guling, lihat! Aku menangis mengingat keegoisanku kala
itu.
“Andai aku bisa memutar waktu,
mungkin saja senyuman dan tawa itu, bahkan dirinya, masih ada bersamaku hingga
detik ini, mungkin aku tidak akan menjalani kehidupan yang menyedihkan..”
kataku kembali, tangisku malah menjadi-jadi, “Aku hanya mau mengatakan aku
begitu mencintai dia, sangat-sangat mencintai dia..”
“Terus?! Kamu berharap dia mau
berubah pikiran?” tanya Sonya tegas, aku baru terfikirkan akan hal itu,
“Bisakah dia berubah pikiran jika aku menyatakan perasaanku?” tanyaku spontan,
kedua alis Sonya menyatu tegas.
“Gry! Jangan gila!” bentak Sonya,
dia kemudian mengelus pundakku, “Gry, kamu juga pantas bahagia, tapikan nggak
mesti sama cowok yang sudah mau menikah, apalagi dia sudah bahagia..”
“Iya aku pantas bahagia, bahagiaku
jika dia mengetahui aku mencintai dia, Nya.”
“Kamu bisa bahagia jika hanya
mengatakan ‘aku cinta kamu.’ Begitu?, hahaha Gry, Gry.. jangan ngimpi.” Sonya
menggeleng seraya tertawa terpaksa, “Setidaknya, aku bisa bahagia, jika dia
tahu, walau hanya sesaat.” Balasku memelas, Sonya memutar bola matanya dengan
malas.
Pembicaraan kami berhenti, Sonya
memilih menuju ke ballroom duluan, ketimbang mendengar ocehanku, yaa.. malam
ini acara pertemuan kami. Aku sudah memoles sedikit bedak, dan memakai lipstik warna
nude di bibirku, setidaknya aku tak terlihat pucat, apakah aku cantik? Masih
cantik untuk dilihatnya? Kenapa aku begitu gugup memikirkan pertemuan kami
sebentar lagi?
Apa yang akan kukatakan pertama
kali, saat matanya melihatku nanti? Haruskah kukatakan ‘hai’ atau ‘hey’ atau
‘udah lama nggak ketemu’ atau ‘hai Senja’. Langkahku terhenti di depan lift,
hanya karena pemikiranku sendiri, air mataku hendak keluar lagi, tolonglah
hatiku, jangan bersedih saat kau menyapanya seperti itu, tegarlah, dia memang Senjamu,
karenanya kau bisa bahagia.
******
Dia disana, berdiri di dekat bar.
Dia sedang berbicara dengan Ken, ketua tingkat. Haruskah aku melangkah menuju
dirinya, menepuk pundaknya dari belakang? Atau haruskah aku berdiri di depannya
untuk menyapanya, atau haruskah aku berpura-pura menabraknya, atau haruskah aku
melewatinya? Oh tuhan, kaki malangku yang tengah mengenakan heels ini sedang
gemetar, tanganku dingin sekali, aku gugup!
“Hey Gryna!” suara Ken menembus
gendang telingaku, senyumku kaku, ohh tidak, Senja melihat ke belakang, dia
melihatku.. lihat senyumanku lelaki Senja.. senyuman lega ini kutunjukkan
untukmu. Lihat! Dia membalasku, dia tersenyum. Dia indah sekali, Tuhan..
ijinkan aku bahagia sesaat saja dengannya.
“Apa kabar Gry?” tanya Ken
menyalamiku, “Baik. Kamu?” tanyaku, dia mengangguk, “Baik selalu..” aku
mengangguk kembali padanya, kuputar sedikit badanku ke arah kanan, memandang
sosok Senja beralis tegas dengan senyuman penuh ketulusan itu.
Kukepalkan tanganku, memberanikan
diri membuka mulut menyapanya, “Hai Senja.” Suara itu melenggang begitu saja
melewati pita suaraku, aku pasti sudah gila menyapanya begitu. Sadarlah Gry!
“Hai Gry.. kabarmu baik saja, kan?”
suaranya yang sudah 6 tahun ini tak kudengar melewati telingaku, melewati
hatiku dan menggetarkannya, aku setengah mengangguk, setengah menggeleng
menjawabnya. “Baik..” aku tersenyum sebaik mungkin didepannya.
“Ehm,, sepertinya Widi membutuhkan
bantuanku.” Ken pergi begitu saja meninggalkan kekakuan diantara kami. Kini
hanya ada aku dan dia berdiri di depan bar. Mata kami masih saling menatap.
Masih banyak yang mau kukatakan padamu.
“Gry.. hei hei, ngelamun ya? Kebiasaan..”
katanya. Lelaki ini tak pernah berubah. Dia masih Senjaku. “Oh maaf Nel.. ada
yang aku pikirkan..” kataku.
“Kamu sekarang kerja apa? Dimana?”
tanyanya, “Aku masih suka menulis, dan aku bekerja di surat kabar di kota
provinsi.” Dia mengangguk, “Berita berat apa ringan?” dia bertanya, “Lifestyle,
ya, aku menyukai pekerjaanku.” Jawabku menyatakan kesenanganku, “Kamu baik-baik
aja?” kenapa dia bertanya begini? Aku mengangguk menjawabnya.
“Tak mau bertanya tentangku?” dia
menawarkan dirinya untukku wawancarai. Hei lelaki Senja, begitu banyak yang mau
kukatakan padamu, mungkin semalam saja tak cukup.
“Hmm..” aku tahu semua tentang dia,
untuk apa aku bertanya. “Kamu bahagia Nel?”
Wajah senyumnya sedetik mendatar,
sedetik kemudian tersenyum, “Aku baik-baik saja Gry.”
“Aku tanya, apa kamu bahagia?”
tanyaku kembali, kenapa hatiku bergemuruh sekali ingin mendengar jawabannya,
selama bertahun-tahun ini aku melihat dia bahagia dengan hidupnya, dia bahagia
dengan semua yang ada padanya, tapi hati bodohku ini terus saja bertanya,
apakah dia bahagia setelah aku meninggalkan dia?
Dia menunduk, menggaruk tengkuknya
yang kurasa tak gatal sama sekali, ini sikapnya 6 tahun lalu yang membuatku
terdiam dan mengambil keputusan berat, kali ini jangan Senjaku. Tolong jujurlah.
“Aku bahagia.” Senyumnya, dia
menarik bibirnya datar seraya tersenyum, kenapa dia? Dia benar-benar bahagia,
apa dia tengah berbohong?
Entah aku menarik nafas lega karena
lega atau rasa penasaran yang masih ada ini tak terjawab dengan baik?
“Syukurlah, kupikir kamu tak bahagia..”
Dia menatapku datar, tatapan tanpa
arti itu kembali kulihat, “Kamu? Apa kamu bahagia Gry?”
Dia bertanya, aku harus berbohong
apa harus jujur? “Aku bahagia, look.” Kuangkat tangan kiriku, dan
menari-narikan jemariku, menunjukkan cincin berwarna rosegold bermata berlian
di jemari kelingkingku. Cincin bodoh yang kubeli setahun lalu karena diskon.
“Menikah?” nada suara rendahnya,
kenapa terdengar kecewa dengan tatapan sendu itu? Apa yang kuharapkan lagi kali
ini? Aku menggeleng meresponsnya.
“Ohh tunangan.. aku juga.”
Jawabnya, dengan sendirinya dia mengangkat jari manisnya, menunjukkan cincin
titanium dijemarinya. Sepertinya dia bahagia.
“Tapi, kenapa kamu tak
mengugumkannya di grup? Kami tak tahu acara pertunanganmu.”
“Cuma acara kecil, aku berencana
memberitahu kalian jika akan menikah.” Ck! Aktingmu Gry, so nice!
Dia mengangguk, “Yaa, aku juga
begitu.. aku sengaja tak memberitahu teman-teman yang lain, maaf ya Gry, baru
memberitahumu..” katanya merasa tak enakan, oh-ho.. aku sudah tahu segala
informasimu Senja, semuanya.
“Iyaa, tak apa Nel..” aku
tersenyum, terpaksa.
Kembali ingatanku muncul mengingat
sendiri kenangan enam tahun lalu, alasan mengapa aku begitu menyesali saat ini,
alasan mengapa aku berbohong, aku bahagia.
Danel, lelaki ini, dan aku yang
enam tahun lalu. Punya kisah cukup rumit, hati kami sudah saling menyatakan
suka, sikap kami menunjukkan cinta, kami bahkan banyak merancang masa depan,
tapi.. kami tak pernah memulai hubungan, hatiku yang egois ini mengiginkan dia mengungkapkannya,
segera dan segera, agar aku yakin dengan jalannya kehidupan percintaan kala
itu.
Sayangnya, hingga kelulusan tiba,
dia masih tak menyatakan cintanya, aku menyatakan terlebih dahulu, dia malah
beralasan seribu alasan, aku tak sabar dengan apapun yang ia tunda. Kala itu
aku marah, dan berasumsi dia tidak mencintaiku, aku pergi meninggalkannya, dan
dia dengan jelas melepasku begitu saja. Intinya, kami ini tidak pernah memulai
apapun. Tapi kenangan yang begitu indah dan nyata itu mampu membawaku hingga
detik ini, itu semua karena rasa cinta ini masih hangat dan tak pernah padam.
Walaupun rasa penyesalan yang begitu dalam terkubur disana, aku berusaha
menutupinya.
Haruskah kuharapkan dia kembali
menyukaiku? Pantaskah aku berharap demikian? Aku tidak bahagia, sama sekali tak
bahagia. Aku mencintai dia, hanya dia, hanya kamu Danel. Aku menangis begitu
saja di depannya kini, dia melihatku dengan wajah cemasnya. “Gry.. Gry kenapa?
Eyi..” katanya. Eyi katanya? Aku menahan tangisku, malah menjadi-jadi saja,
kenapa dia menyematkan panggilan sayang itu sekarang?
Aku memilih melenggang meninggalkan
ballroom yang masih ramai berdentum suara musik, sebaiknya aku pergi daripada
terlihat menyedihkan diacara reuni. Bersembunyi ditangga darurat mungkin bisa
membuat orang-orang tak melihat maskaraku telah meluntur tak karuan, sumpah!
Aku terlihat menyedihkan. Beberapa menit kurasa tangisku mereda, aku kembali ke
kamar, melepas dress pesta, dan cincin bodoh ini dari jariku, aku sengaja
mengenakannya, untuk berjaga-jaga hal tadi terjadi.
Menyedihkan Gry! Wanita menyedihkan
sepertimu harus lenyap dari dunia ini, Senjamu itu sudah bahagia benar-benar
bahagia, apa yang kau harapkan kembali? Tidak ada. Sebaiknya usir Senja itu
Gry! Memarahi diriku sendiri dibawah guyuran air, sepertinya pantas kulakukan.
“Gry… Gry!!!” suara Sonya
terdengar, menggedor-gedor pintu kamar mandi, kenapa suara gadis itu terdengar
panik? Aku segera meraih handuk dan membuka pintu kamar mandi.
“Kamu baik aja? Gry.. kamu habis
nangis?” Sonya bertanya dengan wajah cemasnya, “Aku baik aja, Nya.. aku
menangis karena perlu..” jawabku, Sonya memelukku pelan, “Maaf meninggalkanmu
sendiri disini..”
Aku mengerutkan kening. “Aku nggak
disini kok, sejam aku di ballroom, Nya..”
Dia melepas pelukannya karena kaget,
“Seriusan? Maaf yaa.. udah 3 jam kamu kutinggal.. jadi, kamu-”
Aku mengangguk, aku tahu apa yang
ia tanyakan.
“Ya udah istirahat, besok kita ada
kegiatan outdoor.. jadi kita harus fit besok..” kata Sonya.
Aku mengambil piyama, lalu
mengenakannya, tak lama telfon milik Sonya berdering. “Hallo Hon..” suara manja
Sonya terdengar, sebaiknya aku tak mendengar percakapan kedua suami istri itu.
Tidur adalah solusi terbaik untuk sekarang.
Tapi tunggu dulu, bagaimana aku
menghadapi Danel besok? Aku menangis seperti wanita kesepian di depannya hari
ini, haruskah aku berpura-pura tak mengingat kejadian malam ini? Atau tak usah
mengikuti acara besok? Ah, aku sudah bayar mahal untuk ikut reuni ini. Baiklah,
aku ikut.
******
“Semuanya siap! Kelompok akan kita bagi
sesuai hitungan yaa kawan-kawan..” suara Ken dari pengeras suara yang di
jinjingnya. Kami berhitung, entah takdir berpihak denganku apa tidak kali ini,
aku dan Danel satu kelompok, sedangkan Sonya diurutan lain, karena kami berdua
berdiri berdampingan sebelumnya.
“Permainannya gampang, pindahkan
kertas ini sebanyak yang kalian bisa, menuju ke garis di belakang sana,
pindahkan dengan mulut kalian, stop. Jangan mengeluh, siap. Mulai!”
Dengan
semangat teman-teman memindahkan kertas itu dari mulut kemulut dengan
menempelkannya, tapi sepertinya ketua kelompok kami Iren menggunakan cara lain.
“Guys! Keringkan gigi kalian, gigit
pinggiran kertas itu, yang pentingkan kertas itu berpindah dari mulut ke mulut.
Siap? Mulai.”
Kertas itu berpindah dengan cepat hingga
ke urutanku dan Danel yang ada paling belakang, di kelompok 4 kertas terjatuh
dari mulut dan kedua mulut itu bertubrukan, untunglah Adi dan Keyla itu suami
istri, kelompok itupun gugur. Ah.. apa yang kupikirkan ini, ahaha apakah aku
berharap kertas ini jatuh dari gigiku? Tidak, kertas ini kugigit, bukan
menempel!
Permainan pemindahan kertas selesai,
game berikutnya memindahkan sarung dari ujung ke ujung, siapa lebih dulu
meletakkan sarung hingga ke ujung, kelompok itulah yang menang. Sayangnya, bukan
kelompok kami yang meraih juara. Permainan demi permainan kami lalui, aku bisa
leluasa melihat tawa dan candaan yang di keluarkan Danel melalui auranya. Dalam
kondisi apapun dia tetap membuatku terpesona. Pukul 3 permainan selesai, dan
waktunya kembali ke kamar masing-masing.
Besok adalah hari kepulangan, jadi
malam ini acara puncak, yaitu membuat api unggun di pinggir pantai, seperti
masa kuliah dulu, mengahabiskan malam sambil menyanyi melingkari api unggun.
“Gry.. malam ini hari terakhir. Kamu
sudah bisa melepasnya hingga malam ini?” Sonya bertanya, kulihat dia yang
sedang mengeringkan rambutnya, “Entahlah, Nya, aku tidak bisa menjawab.”
Jawabku melepas nafas kasar.
“Hmm.. Gry, ada baiknya kamu ngobrol
berdua sama dia, dan saling melepas, karena kalian pantas bahagia..” Sonya
menasehatiku, dia melihatku, dan memberiku semangat. Aku menggeleng pelan.
“Sepertinya kesempatan itu tidak
pernah ada Nya, tidak akan ada lagi.”
Kami sama-sama terdiam, entah saling
memikirkan apa, yang jelas.. waktu sudah tak memihakku lagi, waktu akan kembali
menghukumku kembali, waktu akan mentertawakanku kembali.
Pukul 7 malam, saatnya menuju ke
pinggir pantai, menghabiskan malam ini dan melepas segalanya malam ini, kuharap
reuni 6 tahun lagi, aku akan membawa buah hatiku, menunjukkan pada Danel, bahwa
aku bahagia. Yaa. Tekad bulat ini sudah kutentukan.
Bunyi bell kamar berdering, kurasa
pelayanan kamar hendak membersihkan kamar. “Sonya, ayok.. pelayan kamar mau
membersihkan kamar..” kataku setengah berteriak, agar Sonya yang masih berada
di kamar mandi mendengarkanku. Kubuka pintu, bukan pelayan kamar yang kulihat,
malah sosok Danel berdiri di depanku. Mataku bertanya mengapa dia kemari, tak
ada kata, dia menarik lenganku, dan menuju lift. Menekan tombol lantai paling
atas, kemana dia akan membawaku, kenapa terburu-buru?
Kami tiba di atap resor, tempat ini
begitu itu indah, bahkan langit terlihat seperti layar bioskop yang besar, aku
malah terpana melihat pemandangan di depanku, hingga pandanganku turun, dan
melihat kedua iris mata indah yang berjarak hanya 5 cm di depanku. Bukankah…. Ini
terlalu dekat?
“Aku tidak bahagia Gry..” suara
Danel menembus jantungku, suara beratnya itu membuatku berdebar, tapi kenapa
dia mengatakan demikian? Aku hendak melangkah mundur, tapi tangan kanan Danel
melingkar di pinggangku, menarikku lebih dekat padanya. Oh jantungku.
“Aku tidak bahagia.. aku ingin
bahagia, tapi aku tidak bisa bahagia..” katanya mengulang, kenapa terdengar
begitu perih suaranya? “Kenapa Nel? Apa yang membuatmu begini? Bisa lepaskan
aku? Kita tak boleh begini Nel..”
“Kenapa Gry? Apa aku tak boleh
mendengar suaramu lebih dekat?” dia melepas pelan lingkar tangannya, lalu
memudurkan kakinya selangkah. Dia tersenyum, senyuman itu terlihat menyedihkan.
“Gry.. kumohon, jelaskan padaku
kenapa kamu meninggalkan aku?” tanyanya dingin, kenapa dia bertanya begini? Apa
dia mabuk? Dia tidak peminum, lalu kenapa dia? “Kenapa kamu melepasku?! Gry!
Kenapa???” suaranya menegas. Dia sedang marah, kenapa kurasa aku mau
memarahinya detik ini juga?
“Aku bukan Senjamu?” tanyanya
kembali, lalu bibirnya tersungging lemah. Aku tak tahan melihatnya begini.
“Ada banyak yang mau kukatakan
padamu, bodoh! Ada banyak hal yang mau kulempar padamu, tapi.. hanya satu hal
kenapa aku melepasmu, aku ingin kamu bebas, karena kurasa kamu sama sekali tak
ingin memilikiku, jadi kuakhiri hubungan yang bahkan belum kita mulai.. dan
satu lagi.. Kamu itu Senjaku, kamulah yang membuatku sanggup melewati
hari-hariku.. bahkan… bahkan…” aku menangis, aku tak tahan aku menangis
terisak, aku mengatakan semuanya, sekarang? Akankah dia merubah pikirannya?
Jika tidak apa gunanya?
“Bahkan aku berbohong, mengatakan
aku bahagia. Aku berbohong tentang cincin bodoh ini, aku berbohong menjadi
tegar, aku berbohong pada diriku untuk melepasmu, untuk benar-benar melepasmu!
Tapi kau tahu? Aku tidak bisa! Tidak bisa Nel! Aku harus begini sampai
kapanpun..” tangisku menjadi-jadi, tak dapat kulihat lagi ekspresi Danel karena
air mata sialan ini memburamkan pandanganku.
Dia mendekat, lalu memelukku erat,
pelukan ini… astaga, hanya dia yang kurindukan, hanya dia yang kucintai.. “Da-danel,
ma-ma- maafkan-kan aku..” hanya itu yang bisa kukatakan lagi dengan terisak.
Dia memelukku semakin erat, dan kurasa dia menepuk punggungku. Kenapa dia
melepas pelukan ini, apa yang dia-
Hangat, lembab, dan penuh kasih
sayang. Kami saling menyatukan bibir, dan merasakan perasaan tulus darinya. Air
mataku berhenti mengalir, ciuman keduaku dan Danel.. kami sudah ciuman, padahal
kami belum memulai apapun.. tapi.. aku dan dia pantas bahagia.
Wanitanya?
Lama saling bercumbu, akhirnya dia
berhenti dan lalu mengatakan, “Aku minta maaf Gry..”
Sepertinya memang ini tanda
perpisahan terakhir kami. Baiklah, aku sadar, aku harus melepasnya karena dia
sudah memiliki. Aku tersenyum di depannya, ini senyuman tulus dariku, penuh
kelegaanku, setelah apa yang kupendam, aku sudah mengatakannya, dia sudah tahu,
dan aku.. aku harus melepasnya, benar-benar melepasnya.
“Sebaiknya kita kembali. Dan
melewati malam ini dengan baik Nel, besok.. kita harus pulang.” Kataku, lalu
menarik lengannya, menuju lift, tak ada pembicaraan, entah ada rasa lega
tersendiri di hatiku yang membuatku tak lagi khawatir dengan Danel. Kurasa
lelaki ini akan jadi Senjaku, sampai kapanpun, tanpa ada yang kusesali lagi.
******
Seperti
ini akhirnya, kami kembali ke kehidupan normal, dan aku berhenti bertanya kabar
Danel dari sahabatnya Hendri. Kurasa aku tak perlu melakukannya lagi, untuk apa
aku mengetahui dirinya, kalau sudah selesai hal yang tak pernah kami mulai.
Hidupku kulewati seperti biasanya,
menulis, bertemu orang-orang dan menceritakan kisah mereka untuk orang lain,
tiba sore hari aku menunggu Senja dari jendela kantorku, sebari menyesap
secangkir kopi, ini sudah lebih dari cukup untuk kesendirianku.
Hanya sebentar saja kebahagiaan
kurasakan malam itu. Begitu nyata, kenangan terindah itu begitu menyenangkan,
aku bahkan menulisnya di timeline kantor sebagai cerita klasik percintaan,
setidaknya setiap masuk keruaangan kantor padat ini, aku bisa berhenti sejenak
membaca tulisan itu. Kisah kedua ku setelah setahun lalu, ingatan itu menjadi
cerita dan menyemangatiku setiap hari.
“Ibu Gry.. kita ada rapat hari ini.”
Sekretaris Redaksi memberitahuku, agar aku memberitahu reporter lainnya yang
seruangan denganku. Sejam kemudian kami rapat dan ada cerita lifestyle yang
dilimpahkan padaku. Apakah ini kesempatan kesekian kalinya yang diberikan waktu
untukku?
“Danel Pramana, pengusaha kedai kopi
populer di kota ini, dia cukup terkenal akhir-akhir ini, dan punya beberapa
acara menarik, dan beliau mengundang koran harian kita untuk mengikuti
acaranya, mungkin Ibu Gryna bisa menulis arikel tentang pengusaha ini.. dan dia
pengusaha lajang.” Ketua Redaksi paruh baya yang cantik ini selalu
menyinggungku seperti itu akhir-akhir ini, aku mengiyakan tugas yang ia
berikan.
Sepertinya aku memang harus kembali
pada Senjaku. Dan bertanya, apakah dia bahagia, dan apa yang sudah ia lewati
setelah malam itu. Ah, begitu banyak yang ingin kutanyakan. Sebaiknya aku
menemuinya besok, untuk membuat rasa penasaranku terjawab dan aku bisa menulis
artikel tentangnya.
“Selamat pagi Mr. Danel Pramana..”
sapaku sopan, aku dan dia tengah duduk di sofa di dalam kafe bertemakan
kehangatan dan ketulusan miliknya.
“Apa kabarmu Gry?” dia bertanya,
seraya tersenyum. “Aku baik aja, bisa kita mulai wawancaranya? Sebelum nanti
acara anda dimulai.” Kataku sopan. Dia menggeleng, “Apa yang kamu lakukan
setahun ini Gry?” dia bertanya kembali, aku menghela nafas pelan, “Inilah yang
kulakukan, bertemu orang penting sepertimu, dan menulis tentangmu.” Jawabku,
harusnya aku yang bertanya padanya seperti ini, apa dia membaca pikiranku?
“Jadi, apa motivasi anda sehingga
anda bisa menjadi pengusaha sukses penuh pesona seperti sekarang?” aku
bertanya, karena ini pertanyaan dari bucketlist teman-teman wartawan lainnya.
Danel tertawa kecil, “Kamu motivasiku.”
Ah yang benar saja!, “Saya sedang
mewawancara anda disini Mr.. jadi-”
Dia menggenggam tanganku, hei-hei,
ada banyak rekan kerjaku disini, “Ikut aku.” Katanya, lalu menarikku, entah apa
yang dipikirkan rekan kerjaku melihat kejadian ini, aku malu, mau dibawa kemana
aku? Danel pasti selalu menarikku seperti ini.
Dia mengecup bibirku secepat kilat,
waahh…
“Aku bahagia. Melihatmu,
memikirkanmu, dan aku bahagia mencintaimu Gry..” katanya pelan dan lembut. Aku
terheran, apa yang ia lakukan! “Kenapa tak kau nikahi gadis itu Nel?” aku malah
bertanya kesana, apa-apaan aku ini.
“Aku tidak bahagia bersamanya, jadi
dia melepasku. Dan aku sadar, aku tidak bahagia karena aku mencintaimu, dan
kamu yang sebenarnya tidak pernah melepasku, aku yakin, seyakin-yakinnya,
seperti matahari menyinari bumi, bahwa aku dan kamu saling mencintai.”
Aku menggeleng, “Danel.. aku sudah
benar-benar melepasmu malam itu.”
Dia mendekat, mendekat, hingga
meraih pinggangku, “Benarkah? Cintamu selalu menyapaku setiap hari hingga detik
ini, jadi kumohon, berhentilah berbohong..”
Aku malu, baiklah.. dia mengecupku
lagi.
“Kumohon, kali ini kita harus
memulainya, dan harus.. tu-tunggu dulu..”
Dia melepas pinggangku pelan,
sembari dia merongoh kantung jasnya, alisnya terangkat, sepertinya dia menemukan
apa yang ia cari, kembali ia melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Angkat tangan kirimu..” dia
memasukkan cincin rosegold halus nan polos ke jari manisku, “Menikahlah
denganku.” Aku tak percaya dia melamarku begini, aku bahkan tak bisa berkata
apapun.
Dia mengecup kembali bibirku,
“Jawabanmu, iya, dan kita akan menikah..” katanya, begitu bersemangat, aku
mengangguk senang, dia langsung mengangkatku, kemudian memelukku erat, aku
membalas pelukannya, ini untuk kebahagiaan kami. Sudah lebih dari cukup, kamu Senjaku..
selamanya.
To
be continue..
_________________________________________
Hai-hai! aku kembali dengan cerita baru.. dan kuharap kalian para pembaca menyukainya..
Mungkin cerita ini seperti cerita-cerita cinta pada umumnya, kali ini aku hanya mau membagikan cerita yang sedikit romantis dan absurd ini ke kalian. Mungkin aja, bisa ngisi waktu luang kalian.
Pokoknya.... terimakasih para pembaca setia blog aku, yang sudah mau membaca maupun yang sudah setia menunggu cerita-cerita absurd dari aku.. sekian, sampai jumpa di cerita-cerita absurd aku berikutnya..
DON'T COPY PASTE!!!!!!!!
HAK CIPTA TULISAN INI DILINDUNGI.

Komentar
Posting Komentar