The Wedding

Happy Reading !!! :)
Written by : Julianthy Diana Natalia

Sinopsis 
Aku kecewa dengan kehidupan percintaanku yang selalu gagal.
Yang kadang terjadi karena sebuah kesengajaan maupun pelarian hingga yang diam-diam memulai tanpa pemberitahuan.
Mungkin kisah cintaku kini lebih ekstrem dari kisahku sebelumnya.
Kisah mulai dari diputusi karena bosan, diselingkuhi, hingga menjadi yang kedua.
Kelihatannya tidak pernah berhasil bukan? Hubungan ini selalu kandas begitu saja.
Aku sempat terfikirkan, aku harus mendapatkan pasanganku kini. Karena usia tidak dapat kutahan untuk bertambah. Aku harus memikirkan pernikahan.
Ini adalah saat dimana aku memperjuangkan kisah cinta “bodoh” diusiaku yang sudah menginjak 27 tahun, umur ini baik untuk mempunyai bayi. Itu kata orang kepadaku. Bagiku, diumur ini adalah kesempatan terakhirku mendapatkan cinta yang sebenarnya.
Mendapati pria yang sempurna, bisa membuat hati bahagia. Bagaimana jika kebahagian itu menjadi sebuah cerita tabu?
Bisakah tetap dipertahankan?

-Aku akan mendapatkan kamu, bagaimanapun caranya. Kita memang belum memulainya, tapi bagiku kamu sudah memulainya sejak dulu.-
-Jevica-

Prolog
Ciuman itu.. 
Desiran ombak membuat pendengaran menjadi bising, namun tidak membuat sebuah nuansa keromantisan pudar dibawah terangnya rembulan dimalam minggu seperti ini. Duduk dipasir pantai yang dilapisi oleh karpet tebal mampu menahan dingin dari pasir pantai. Cahaya lentera berhiaskan warna kuning yang lembut menerangi tenda yang tak jauh dari api unggun dan tempatku duduk sekarang.
Suasana ini pertama kali kurasakan dan kehangatan ini berbeda dari kehangatan dikamarku, kehangatan genggaman tangan pria dengan tubuh tegapnya mampu menenggelamkanku dirangkulannya. Dia melihatku sesekali memastikan aku aman dalam rangkulannya. Dia sesaat mengelus lembut rambutku dengan dagunya, aku merasakannya dipangkal kepalaku. Dia mengelusnya lembut. Tak kusangka pria ini begitu melindungiku, begitu romantis bersamaku. Suasana malam ini sangat mendukung kebersamaan kami berdua.
“Vicaa.. kamu tahu, malam ini adalah malam terindah pertama dihidupku.” suara berat itu terdengar ditelingaku, dan getar dari tubuhnya terasa dibahuku yang menyentuh dadanya.
“Oh yaa.. kalau begitu, bagiku juga.” kataku lalu menenggelamkan wajahku dalam rangkulannya.
“Aku suka nuansa begini, tapi aku mulai mengantuk. Bisakah kita kembali ketenda?” lanjutku masih menenggelamkan wajahku padanya.
Dia menarikku, lalu membuat pandanganku mengarah padanya. Dia membuat jantungku berdegup sekencang-kencangnya. Bisa tidak dia tidak menatapku begini.
“Kamu kedinginan? Aku bisa menghangatkanmu lagi.” katanya lalu kembali merangkulku.
Aku menggeleng menandakan aku tak ingin dirangkulnya lagi, aku hanya ingin kembali ketenda. Karena aku sudah sangat-sangat mengantuk.
“Oke. Kita ketenda, aku matikan apinya dulu.” katanya lalu, menarikku berdiri lalu menuntunku ketenda.
Dia dengan cepat mematikan api unggun yang sedari tadi menghangatkan kami dari belakang. Dia kemudian menyusul masuk kedalam tenda. Dan segera menyelimuti dirinya, aku langsung masuk kedalam bedcover yang kubawa. Cukup membuatku hangat. Tak lama, kantuk benar-benar mendatangiku, membuat mataku mulai terlelap.
Namun sesaat, ada sebuah tangan yang kurasa melingkar diatas bedcover, tepat diatas perutku. Dia memelukku, kubuka mataku lalu melihatnya. Dia tersenyum, aku suka senyuman hangatnya ini. Kehangatan dan kelembutan bibirnya menyentuh bibirku, melumat dengan lembut membuatku enggan membuka mata. Ingin kutolak ciuman ini, tapi aku menyukainya. Menyukai cara dia pertama kali menciumku, kesan pertama ini membuatku tak ingin diam saja. Kubalas lumatan bibirnya dengan lembut, membuat kami mulai terbuai cukup lama.
Suara petir mengagetkanku, dan membuatku berhenti melumat bibirnya. Kulihat dia seperti menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Dia menggaruk tengkuknya yang kurasa tak gatal sama sekali. Ada apa dengannya? Senyuman seringaian penuh malu-malu seperti itu, aneh.
“Tidur yuk.” katanya memecah tatapanku padanya. Dia menyelimuti kembali tubuhnya, lalu berbalik badan memunggungiku. Jantungku, oh tidak.. tahan, jangan berdetak sekencang ini. Apakah ini pertandanya kami menjalin hubungan? Kuharap ya!

Bab I.
Kebenaran ini akan kutuntut darinya. Semenjak dipantai saat itu, setelah kami ciuman membuatku semakin hari merasakan bahwa dialah yang membuat jantungku mulai berdetak normal. Bagaimana tidak, perlakuan istimewanya dua minggu lalu membuatku berangan-angan jauh dengannya. Persetan dengan Tiya mengejekku dikantor beberapa hari ini karena kejadian dipantai saat itu. Karena malam itu, hanya aku dan Hendri berdua didalam tenda dan jauh dari teman-teman kantor lainnya.
Sebenarnya malam itu adalah kemping kantor, tapi aku mengajak Hendri. Pria yang selama setahun ini menjadi teman sekaligus gebetanku. Aku sengaja mengajaknya, dari pada aku menjadi orang bodoh tak punya topik bahasan saat berkemping bersama teman kantor. Aku senang dia bisa menemaniku malam itu, walaupun keesokan paginya dia langsung kembali pada pekerjaannya. Tapi, aku cukup senang dia sudah meluangkan waktunya untukku.
“Vica.. tidak bisakah kamu fokus sedikit? Makan saja kamu ngelamun begini!” Tiya menepuk permukaan tanganku.
Membuatku setengah terkaget. Yaa.. aku sering melamukan yang berlebihan jika mengingat kejadian malam itu. Kebahagian bertubi-tubi menghantam kepala dan hatiku.
“Sorry Iy. Aku makan kok.” kataku, dengan segera melahap dengan cepat makanan pada mangkuk dihadapanku.
Dia tertawa melihatku, dia pasti berfikiran kalau aku ini temannya yang paling konyol dikantor. Mungkin bukan konyol, gila. Mungkin itu yang bisa dia pikirkan. Terlihat dari wajahnya yang tertawa keheranan melihatku.
Aku sudah menghabiskan soto ayam dihadapanku dengan segera, Tiya masih santai mengunyah daging ayam lalapan didepanku. Seraya menunggunya selesai makan, kuraih ponselku didalam dompet yang kubawa tadi. Mengusap layar ponselku dengan lembut, lalu mencari kontak Hendri. Seperti biasa setiap aku selesai makan siang, rutinitasku adalah menghubungi dia. Sekadar menanyakan dia sudah makan siang apa belum. Tapi siang ini sepertinya dia sibuk, telfonnya terhubung namun dia tidak mengangkatnya. Mungkin dia sedang makan siang, begitu fikirku.
“Vicaa.. udah lama ya kamu pacaran sama cowok yang dipantai waktu itu?” tanya Tiya, pertanyaan ini sudah tak mampu kuhitung dengan jari tanganku.
Aku malas menjawabnya, sudah kujawab pertanyaan yang sama minggu lalu. Dia masih saja menanyakannya. Muak ah..
“Iy! Jawabannya sama aja.”
“Ahhh.. oke.”
Topik yang bagus, dia kembali mengunyah daging ayam digenggamannya. Pertanyaan yang sama berulang kali, tidak cukupkah dia menyinggung hubunganku dengan Hendri yang masih simpang siur begini?
“Asalkan kamu tak ciuman dengannya, tidak perlu memperjelas hubungan kalian.” katanya lagi, lalu meletakkan tulang ayam diatas tissue.
Tiya seperti tahu kejadian malam itu, dan dia seperti tahu isi pikiranku. Ada apa dengannya? Ikut campur saja, apa urusannya jika aku ingin memperjelas hubungan kami? Itu hakku-kan?
“Aku takutkan, kamu salah sangka dengan sikap hangat gebetan tahunan mu itu.” lanjutnya.
Wah! Benar-benar Tiya. Gebetan tahunan katanya, ada benarnya sih. Aku masih mengangkat alisku memastikan dia masih ingin menyudutkanku.
“Dann.. jika dia biasa saja setelah setahunan ini, mungkin kamu perlu berpindah hati. LAGI.” dia benar-benar menekankan kata terakhirnya.
Enak aja, memintaku untuk pindah kelain hati lagi. Aku sudah menderita bertahun-tahun lalu dengan cinta yang salah. Bagiku, Hendri haruslah yang terakhir. Tidak ada pindah-pindahan hati. Bodoh! Umurku sudah segini, gimana mau pindah.
“Umur. UMUR.” dia menekannya lagi.
Aku benar-benar muak dengannya hari ini, “Tiya! Kamu tahu, aku tidak akan menyerah dengannya kali ini.” kataku sedikit mendesis padanya.
“Vica! Jangan memberikan waktumu yang berharga hanya untuk hal yang jelas-jelas tidak akan bisa kamu miliki. Aku hanya memberimu nasehat, sudahlah.. jika lewat dari tiga bulan PDKT itu. Mungkin bukan dia orangnya.”
Aku menyadari kata-kata Tiya, dia tahu segalanya tentangku. Tentang percintaan bodohku dari bangku kuliah dulu. Dia memang benar. Aku menyia-nyiakan waktu mudaku hanya untuk cinta-cinta yang tidak pernah berpihak padaku. Tapi. Aku tidak perduli, kali ini harus dan harus. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini pada Hendri. Dia akan menjadi yang terakhir bagiku.

Bab II.
Kehadiran Hendri dikantorku hari ini sangat mengejutkanku, dia datang keruanganku dan membawakanku beberapa kotak makanan. Setelah hampir sebulanan dia menghilang sejak kejadian dipantai saat itu, dia muncul dengan kotak makan siang seperti ini. Tiya yang melihatku dari mejanya, menatap datar tanpa arti padaku. Dengan cepat aku membawa Hendri keluar dari ruanganku dan segera menuju kantin kantor yang berada dilantai dasar.
“Udah lama nggak liat kamu, lebih baik ketemu begini dari pada kuhubungi lewat telfon kan?” ucapnya membuka pembicaraan setelah kami duduk disalah satu meja bundar dekat dengan pot bunga hias dikantin ini.
Aku mengangguk meresponnya, “Iyaa sih, tapi jangan datang dadakan begini..” kataku.
“Aku nggak dadakan, resepsionis didepan tadi sudah menelfon keruanganmu. Makanya aku bisa naik kelantai tiga melihatmu.” katanya menjelaskan.
Dia menelfon keruanganku? Tiya…. dia yang menjawab telfon tadi pastinya dan tidak memberitahuku. Dia sengaja mebiarkanku kaget dengan kehadiran Hendri.
“Ohh. Aku senang kamu kemari. Kenapa harus jauh-jauh ke kantor aku sih?”
“Yaa.. gitu. Aku bosan makan dikantor.”
“Oya? Dan kemana saja kamu selama ini?”
Pertanyaanku ini akan kuarahkan pada kejelasan ciuman mesra kami malam itu, aku harus memastikan aku menerima permintaan cintanya. Aku tak sabar..
“Aku selalu dikantor. Dan beberapa pekerjaan membuatku susah meninggalkannya.”
“Jadi bagaimana dengan pekerjaanmu? Sudah tak sibuk?”
“Yaa beginilah, aku bisa datang kemari karena kesibukan itu sedang tidak ada.”
“Lalu.. jika aku bertanya tentang kita malam itu?”
“Ohh malam itu, aku minta maaf.. paginya aku ada meeting dikantor yang tidak bisa diwakilkan. Dan setelahnya aku mendapat persetujuan promosi dan menjadi lebih sibuk dari sebelumnya. Proyek perhotelan yang ada di pinggir kota, itu yang membuatku banyak menghabiskan waktu diluar.”
Kenapa dia menjelaskan kepergiannya? Bukan itu yang aku ingin dengan dari mu, Hendri.
“Aku selalu memikirkanmu, ditengah kesibukanku.”
Benarkah?
“Tapi.. aku tidak bisa menemuimu.”
Tak apa, sekarang jelaskan apa keinginanmu.
“Aku minta maaf mengabaikan pesan dan telfonmu.”
Itu nggak masalah Hendri.
“Dan aku mau bilang kalau-”
Kalau apa? Kenapa ngomongnya berhenti sih? Jangan hiraukan telfonmu itu. Kamu akan mengabaikanku. Dugaanku benar dia mengangkat telfonnya lalu berdiri menjauhiku. Setelah selesai, ia kembali dengan wajah senyum semringah.
“Vicaa.. aku harus kembali kekantor. Ada hal yang harusku selesaikan. Nanti akan kutelfon.”
Dia berlalu menjauhiku, punggungnya menghilang dibalik sudut kantin. Aku sendiri disini tanpa sempat menanyakan apa-apa lagi padanya. Tak ingin kusentuh makan siang ini. Bagaimana tidak, orang yang mengantarkan untukku tidak ikut makan denganku.
“Vicaa..!” panggil Tiya seraya berjalan kearahku.
Wajah kesal kutunjukkan padanya, dia tahu apa kesalahannya.
“Maaf nah ya.. kamu tahukan tadi aku sibuk ngetik. Kelupaan..”
“Iya nggak papa.” singkatku.
Dia membuka paper bag yang berisi kotak makanan dari Hendri. Dan mengeluarkan tiga kotak berbentuk persegi panjang itu.
“Wah… ini makan siang darinya?” tanya Tiya dengan wajah kegirangan.
Anggukanku mengiyakan.
“Dan kamu nggak mau makan makanan ini?”
Aku menggeleng, aku terlanjur bete dengannya hari ini.
“Ayolah kita makan bareng, mubazir tahu.. bentar aku pesankan dessert dulu.”
Tiya berlalu kebelakangku, menuju bar kantin. Terlihat dia memilih-milih menu desssert di atas bar. Dan kembali dengan senampan kudapan manis yang menggoda. Dia menggodaku untuk menikmati makan siang pemberian Hendri. Tergoda juga dengan hidangan makan siang yang diberikan Hendri. Kami menikmatinya bersama.
-oOo-
Sudah habiskan makan siangmu?”
Pesan whatsapp dari Hendri setelah satu jam kepergiannya dikantin kantorku.
“Iya udah. Kamu udah makan siang? Jangan lupa makan.”
Kubalas pesan itu dengan cepat, kini dia tengah mengetik.
“Aku makan siang nanti aja, ini sedang menandatangani kontrak.”
Aku tahu pria ini banyak kesibukan, tapi terkadang aku kagum padanya bisa meluangkan waktu untukku.
“Hati-hati bekerja. Jika ada waktu, kita ketemuan lagi. Ada yang ingin kutanyakan.”
Aku ingin menanyakan kejelasan hubungan kami. Agar aku bisa memantapkan langkah selanjutnya.
“Oke! Nanti kuhubungi lagi.”
Aku mengirimkan stiker jempol padanya menandakan oke.
Kututup layar ponselku dan fokus kembali pada pekerjaanku. Iming-iming memikirkan pertemuan kami selanjutnya membuatku bersemangat menyelesaikan pekerjaanku siang ini. Tersisa tiga jam lagi untuk keluar dari ruangan ini, Tiya mendekatkan kursinya padaku dan melirik kearah layar komputerku. Tak kuhiraukan dia, aku kembali menyamakan data di proposal dan yang ada dilayar komputerku.
“Vic.. nanti temani aku ke mall yaa.. ada yang mau aku cari.” katanya disampingku.
Kuputar kursi menghadap kearahnya, dia tengah mengenggam cangkir biru laut yang kuyakini isinya pasti cappucino.
“Mau beli apa?”
“Tas.. kamu tahukan tas yang kubawa kerja ini udah nggak layak dibilang tas kantoran.”
Apa bedanya, tas yang kupakai dua tahun diatas mejaku itu saja tidak pernah kuganti. Kurang lebih warnanya dengan punya Tiya.
“Bukannya tas itu kamu beli awal tahun? Baru aja setengah tahun mau ganti lagi.”
“Bosan liat tas itu, hehehe”
Aku kembali fokus pada layar komputerku, dan mengangguki permintaan Tiya tanpa melihatnya. Lalu terdengar suara roda kursi berdecit menjauh, tanda dia sudah kembali kemejanya.
-oOo-
Aku tengah menemani Tiya disalah satu butik tas dimall ini, dan tanpa tertarik dengan tas-tas bermerek dan sangat mahal yang ada disetiap almari diruangan ini. Membuatku menahan hasrat untuk melihat-lihat juga. Kuputuskan untuk keluar dari butik itu, duduk disalah satu bangku didepan butik. Sambil melihat kedalam, Tiya sibuk membolak-balik tas itu melihat dengan detail.
Sosok Hendri tertangkap oleh mataku, sejauh aku melihat dia tengah menurini eskalator. Senyumku mengembang melihatnya perlahan memudar setelah melihat seorang wanita seumuranku tengah merangkul pergelangannya dengan beberapa paper bag menggantung dibagian pergelangan tangannya, Hendri juga tengah membawa beberapa paper bag digenggamannya.
Aku segera menuju dirinya, tanpa memberitahu Tiya. Dia akan lama disana, aku akan kembali sebelum dia menyadari kepergianku. Kudekati sosok Hendri yang tak bersama wanita itu, karena wanita tadi sedang masuk kesalah satu butik didepan tepat dimana Hendri berdiri. Dia terkejut melihat kehadiranku, senyuman tak ada disana yang ada malah wajah cemas.
“Hendri.. kamu ngapain disini? Aku baru jalan dan lihat kamu-”
“Kamu ngapain disini?” potongnya.
Pertanyaannya tergesa-gesa, wajah cemas itu ia tunjukkan jelas didepanku. Dia menarikku jauh dari depan butik.
“Kamu kok bisa ketemu aku disini?” tanyanya mengerutkan kening, sesekali melihat kebelakangku.
“Tadi aku nemani Tiya. Terus liat kamu sama cewek tadi.”
“Ohh itu.”
“Aku seneng ketemu kamu disini, kebetulan kamu sepertinya nggak sibuk. Bisa kita bicara?”
Hendri menggeleng, dia memegangi pundakku dan menatapku lekat.
“Aku akan menelfonmu nanti. Kembalilah pada Tiya, aku akan masuk kebutik tadi.”
Ada apa dengannya seperti ketakutan akan kehadiranku. Siapa wanita itu? Kenapa aku harus menghindarinya?
“Kamu jangan bertanya siapa dia, oke? Aku mohon.”

Pintanya, aku mengangguk dan tersenyum menjauhinya. Aku penasaran siapa wanita itu? Jika kulihat ekspresi Hendri tadi, wanita tadi pasti hanya teman kantornya. Dan bukan siapa-siapa.

Tiya terlihat keluar dari butik tas tadi, dia melihat-lihat sekeliling dan menemukanku masih berjalan kerahnya.
“Kemana aja?” tanyanya begitu aku tiba didepannya.
“Tadi ketemu Hendri.”
Tiya mengerutkan keningnya tajam, kenapa dengan ekspresi itu?
“Dia sama siapa?”
Pertanyaannya membuatku heran, kenapa dia berfikir kalau Hendri datang dengan orang lain?
“Sama cewek.”
Tiya sama halnya seperti Hendri tadi terlihat cemas dan melihat kebelakangku, kemudian melihatku.
“Kita ke coffee shop dilantai atas yuk..”
Aku mengikuti Tiya dari belakang, berat rasanya meninggalkan Hendri disana. Padahal aku masih ingin bebicara dengannya. Tiya memesan dua creamy latte dan mengajakku duduk disudut cafe ini.
“Vica. Maaf sebelumnya aku tidak memberitahumu.”
Apa maksudnya? Apa yang tidak dia beritahu? Emang ada yang bisa dia tutupi dariku?
“Iya kenapa Iy.. bilang aja.”
“Ini tentang Hendri.”
Tunggu, dia tahu apa tentang Hendri.
“Kenapa dia?”
“Tarik nafas dan dengar aku baik-baik, jangan memotong pembicaraanku.”
Aku mengangguk lalu menarik nafas dan memasang pendengaranku dengan baik seperti yang diminta Tiya. Dia akan mulai bercerita, dia menggenggam erat tangannya.
“Aku dan Hendri adalah teman dibangku SMA dulu. Dia adalah ketua osis selama dua tahun. Dan dia populer disekolah, banyak anak-anak suka dengannya. Terutama Milea. Dia anak pindahan dari sekolah ternama, dan dia ngedekati Hendri. Hendri jatuh hati padanya dan mereka pacaran hingga lulus SMA, aku memang tidak tahu lagi kabar tentang mereka berdua. Setelah setahun yang lalu kamu cerita kalau Hendri itu kenalan kamu dari sosmed dan menjadi gebetan kamu, aku sedikit tidak yakin. Dan maaf tidak mendukungmu dengannya. Fakta yang kuketahui, Kamu tahukan awal tahun lalu aku cuti dua hari untuk acara reuni sekolah, aku lihat Hendri dan Milea kembali barengan. Aku nggak mastiin kalau mereka ada hubungan lagi, tapi yang kutahu mereka sangat mesra.”
Tiya menjelaskan pelan-pelan agar aku mendengarkan dengan baik, aku tidak menyanggahnya. Apa yang kudengar terdengar omong kosong.
“Aku tahu Milea tidak kembali keluar negeri, melainkan ada dikota ini bersama Hendri. Jika kamu melihat mereka bersama, kuharap kamu tidak memaksakan perasaanmu pada Hendri lagi.”
Aku tidak setuju dengan Tiya, Hendri itu milikku. Kenapa harus menyerah jika masalalunya menjadi penghalangku dengannya. Wajah penolakan kutunjukkan pada Tiya. Dia meraih ponselnya dan menunjukkan foto bersamanya diacara reuni itu. Wanita yang ada difoto, sama dengan wanita bersama Hendri dan yang masuk kebutik tadi. Aku mengerutkan kening tajam tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Kumohon Vicaa. Berhentilah menyukai dia dan berharap menjadi pacarnya-”
“Nggak Iyy!”
“Dengar dulu Vica.. dia tidak menembakmu karena Milea, kehadiran Milea membuatnya tidak bisa menyatakan perasaannya.”
“Kalau begitu, dia harus menyatakan perasaannya padaku bukan?”
Aku berdiri, berlalu meninggalkan Tiya dimeja itu tanpa menyentuh cangkir minuman dingin didepan kami. Aku keluar dari cafe itu turun kelantai tadi, dimana setengah jam lalu aku melihat Hendri. Kucari sosoknya dibutik tadi, nihil. Tak kutemukan dia. Persetan omongan Tiya, bullshit sermua. Aku tidak percaya, aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Bodoh!
Aku terduduk kembali dibangku dimana aku meninggalkan Tiya, dia masih setia menungguku kembali. Aku kembali dengan masih menangisi ketidak percayaanku pada kenyataan yang diberitahukan Tiya. Tiya kini mengelus pundakku. Di sedari tadi mengucapkan “Sudahlah tenangkan dirimu, perjelas itu dengannya nanti.” aku hanya bisa mengangguk sambil terisak didepannya. Lalu berusaha menyeruput minuman yang kutinggal tadi.

Bab III. 
Aku benar-benar tidak bisa menyingkirkan fikiran takutku akan kenyataan yang ada. Berkali-kali kuhubungi nomer Hendri tidak ada jawaban, nomernya tidak aktif, dan whatsappnya tidak online semingguan ini. Aku kekantornya dua hari yang lalu, yang kutemui hanya sekretarisnya dan beberapa jadwal kesibukkan Hendri. Benar-benar, kantung mataku mulai mengembang dan menghitam. Kelihatan menyedihkan diriku kini, membuat suhu badanku naik dan aku harus berakhir diruangan ini.
Seorang perawat mengantarkan sarapan pagi untukku, sangat tak berselera dengan makanan rumah sakit yang ada disamping ranjangku. Cairan infus yang ada mengantung disamping ranjang ini juga sudah diganti pagi-pagi tadi. Aku masih lemas dengan tubuhku sendiri, aku seorang diri diruangan ini pada siang hari, saat malam Tiya datang bersama Johan menjengukku dan menginap disini, sudah tiga hari aku dirumah sakit ini. Tidak ada perubahan pada tubuhku, demam ini masih saja tinggi dan sore nanti aku akan transfusi darah. Anemia. Itulah penyakit yang kuyakini baru kali ini menyerangku.
Ponselku selalu terletak dimeja kecil disamping ranjang, dan selalu kucharger memastikan ponsel itu tidak kehabisan baterai dan berharap Hendri menghubungiku. Diranjang ini aku menghabiskan waktu melamun, kadang menonton TV hingga siang menjelang dan perawat kembali membawa makan siang untukku.
Namun makan siang itu terlihat berbeda kali ini, perawat itu menyadari keherananku melihat makanan berkotak yang ada diatas meja dorong yang ia bawa.
“Ibu Vica, makan siang anda hari ini dibawa oleh orang lain. Saya akan menaruhnya bersama dengan makan siang dari rumah sakit ya.. makan yaa bu. Jangan tidak lagi seperti pagi ini. Ibu harus sembuh dan kembali bekerja, itu yang dikatakan pria tadi yang mengantar makanan ini.”
“Siapa itu? Siapa namanya? Dia ada dimana sekarang?”
Perawat hanya menggeleng, lalu keluar dari ruangan sambil mendorong meja yang mengangkut makan siangku tadi. Siapa dia? Kalau kotak makan ini? Pasti diaa.. Jantungku berdetak kencang ditengah lemasnya tubuhku. Memikirkan namanya saja membuatku kegirangan. Hendri.. pasti Hendri. Aku berusaha turun dari ranjang ini, namun tubuhku terlalu lelah.
Kenapa dia menitipkannya lewat perawat, apa dia tidak mau melihat kondisiku? Apa dia tidak merindukanku? Apa dia sesibuk itu hanya sempat menitipkan makan siang? Mungkin dia tahu aku baik saja disini. Jika sudah sembuh nanti, aku harus menemuinya menanyakan kebenaran yang sebenarnya.
Kuraih ponselku dan kembali menelfonnya, sama seperti tadi pagi ponselnya masih tidak aktif. Apa dia baik saja disana? Kenapa dia menonaktifkan ponselnya selagi dia sibuk? Pintu ruanganku dibuka, kupikir sosok yang ingin kulihat. Tiya dan Johan kembali siang ini kekantorku dengan membawa beberapa bungkus makanan. Yang kulihat bungkus makanan itu sama dengan yang ada dimejaku.
Wajah heranku terus dilihat Tiya dan Johan.
“Kalian beli makanan dimana?” tanyaku setelah mereka duduk dibangku dekat ranjangku.
“Direstoran depan rumah sakit, kenapa Vic?” Tiya menjawab.
“Kalian ada ketemu Hendri?” tanyaku lagi.
Johan dan Tiya menggeleng bersamaan.
“Kenapa?” tanya Tiya, lalu melihat makan siangku disebelah kanan ranjang.
“Dari siapa itu?” tanya Tiya kembali.
“Dari Hendri deh kayaknya. Tapi dia nggak masuk ruangan, barusan aja perawat nganterkan.”
“Oh yaa? Tapi dilobi nggak ada Hendri tuh pas kita lewat.” jelas Tiya.
Aku berdesis heran.
“Emangnya dia tahu kamu disini?”
Aku menggeleng.
“Nah.. nggak tahu itu siapa.”
Johan yang tadi keluar membawa dua botol minuman mineral dan gelas plastik yang diambilnya dari lobi. Lalu dia membantuku turun dari ranjang dan duduk dikursi roda, menuju meja dan sofa berderet disisi kanan ruangan. Kami akan makan siang sebelum Tiya dan Johan kembali kekantor.
“Iyy. Hendri nggak ada kekantor?”
Tiya menggeleng, tatapanku kuarahkan pada Johan. Johan menggeleng.
“Aku bosan disini. Dokter bilang aku belum bisa pulang.”
“Gimana mau pulang, muka kamu masih pucat gitu.” ujar Johan.
“Iyaa sih.. kalian nemani aku lagi nggak malam ini?”
Tiya melihatku dan Johan bergantian, dia menggeleng. Membuatku memelalak.
“Yah, jangan bilang aku tidur sendirian disini.” kataku memelas.
“Eh, ada Johan. Dia aja yang nemani, aku ada lembur dikantor malam ini dan sampai empat hari kedepan, sabtu kayaknya bisa nemani kamu.”
Aku mengangguk paham, pekerjaan kantor memang banyak akhir-akhir ini. Kulihat Johan, apa dia mau menemaiku diruangan ini nanti malam dan malam-malam berikutnya.
“Aku enggak sibuk kok. Pulang dari kantor, aku kerumah dulu ya tapinya.. setelah itu aku kesini.” katanya.
Senyumku mengembang mendengarnya, aku tidak ingin sendirian diruangan ini. Mengerikan jika sudah malam tiba. Aku kembali mengunyah makananku, dan menikmati makan siang kami yang kelewat banyak ini. Sakitku tidak menghalangiku makan untuk siang ini, karena aku sangat lapar.

Bab IV.
Cuaca hari ini bermendung. Menandakan langit ingin menurunkan butiran air, namun masih terasa panas dengan mengenakan gaun putih nan elegan yang kiniku pakai, memperlihatkan leher hingga pundakku, menampilkan tubuh rampingku, gaun brukat ini melekat erat ditubuhku. Riasan diwajahku yang kuyakini sudah sempurna sejam yang lalu hampir luntur dengan menunggu kemacetan jalan pagi ini.
Aku harus segera sampai digereja sebelum jam sepuluh, pemberkatan akan dimulai sejam lagi. Membuat nafasku memburu dan jantungku masih berdetak tak karuan. Persetan dengan Tiya yang mengajakku menghadiri resepsi pernikahan nanti. Aku akan pergi kepemberkatan pernikahan itu, karena harusnya aku yang ada disana.
Aku kini sudah sampai dialun-alun halaman gereja, segera kuparkirkan mobilku dan mengambil buket bunga cherry blossom dibagasi belakang. Kukenakan mahkota bunga berwarna peach ini senada dengan hiasan pita dipinggang gaun yang kukenakan.
Aku sudah tidak ingin memikirkan hal-hal lain lagi yang akan terjadi padaku didepan sana, aku hanya mau Hendri menjadi yang terakhir dalam hidupku. Aku harus memperjelas ini, undangan bodoh yang sampai padaku saat dirumah sakit kemarin sore membuatku buru-buru menuju butik pengantin, tak perduli Johan menahanku dirumah sakit sore kemarin dengan transfusi darah yang harus kulewatkan.
Suasana beranda gereja terasa lengang, apakah pemberkatannya akan dimulai? Aku buru-buru memasuki gereja, didepan sana Hendri berdiri sambil menunduk kearah Pendeta yang ada didepannya. Tidak! Tunggu hingga aku sampai disana. Kupercepat langkahku, gaun yang kukenakan kini membuatku percaya diri dan mempercepat langkahku. Setengah berlari kakiku kini menuju altar gereja yang kurasa sangat jauh dari jangkauanku. Aku harus menghentikan janji itu, janji Hendri dengan wanita yang ada disampingnya. Aku tidak mau ini terjadi, bodoh namanya aku membiarkan orang yang kucintai dimiliki orang lain.
“Hendri!!” teriakku memenuhi penjuru gereja ini, semua mata melihat kearahku. Aku akan mendapatkan kamu, bagaimanapun caranya. Kita memang belum memulainya, tapi bagiku kamu sudah memulainya sejak dulu.
Pendeta yang tadi memegang microfon kini menurunkannya, dan melihat kearahku. Akhirnya Hendri melihat kebelakang, dia melihatku dengan kerutan tajam dikeningnya. Dan gelengan pelan ia tunjukkan padaku, aku tidak perduli! masih kupercepat langkah ini dan akhirnya seseorang menarik lenganku dari belakang, wajahku tenggelam dalam rangkulannya, ia setengah mengangkat tubuhku, kurasakan tubuh ini berpindah.
Diluar pintu gereja terdengar Hendri mengucapkan janji pernikahannya. Air mata yang sedari tadi kutahan dipelupuk mataku mulai mengalir begitu saja, kenapa aku masih ditahan dalam rangkulan ini, sesak rasanya dengan genggaman erat yang melingkar dipinggangku. Siapa pria ini? Berani-berani menarikku begitu saja dari depan altar, padahal sedikit lagi aku dapat meraih Hendri dan berdiri disampingnya.
Berkali-kali kupukul pundaknya dari belakang, pria yang ada didepanku kini berkali-kali juga mengatakan “Tenanglah, sadarkan dirimu Vica..”. aku tidak bisa tenang, pria yang kucintai berdiri dialtar sana mengucapkan janji pada wanita yang menghalanginya untuk mencintaiku.
Dia masih mengelus rambutku, rasa tenang memang sudah meliputiku. Tubuhku yang masih belum sembuh total kini kembali melemah. Kudongakkan kepalaku pada pria yang ada didepanku ini, menyadari pelukannya tidak sekuat tadi, kudorong dia sejauh yang kubisa.
“Johan! Kenapa kamu menghalangiku hah?!” nada suaraku meninggi ditengah hujan yang kini dengan tanpa ragu turun membasahi kepalaku.
“Maaf. Setidaknya kamu tidak mempermalukan dirimu sendiri.” jawabnya, setengah berteriak, suaranya tenggelam dalam desiran hujan.
“Hentikan pikiran bodohmu ini Vica, pulanglah. Tenangkan pikiranmu.”
“Apa katamu pikiran bodoh?”
Entah kenapa aku rasanya ingin berteriak disini, tidak ada yang akan mendengar suaraku ditengah hujan begini. Harusnya aku masuk kembali kedalam gereja dan bertenu Hendri.
“Kamu tidak bisa kembali padanya Vica. Dia sudah menikah, jangan merusak kebahagiaannya.” lanjutnya.
Benar-benar muak dengan perkataan Johan.
“Tahu apa kamu hah?! aku mencintai dia, dia juga mencintaiku!”
“Kamu tidak mencintainya, kamu hanya terobsesi. Vica! Sadarlah, kalau dia juga mencintaimu kenapa dia harus menikah dengan wanita itu?”
Kata-kata Johan menghantam pikiran dan hatiku, dia benar! Aku tidak bisa mengelak hal ini lagi. Apa yang ada didepan mataku sudah menjelaskan perasaan Hendri padaku. Tapi kenapa? Tanpa kabar dan hanya undangan itu yang sampai padaku? Setidaknya aku harus tahu alasannya meninggalkanku.
“Aku tidak perduli, aku ingin dengar darinya. Bukan darimu, tahu apa kamu hah?! aku mau kembali padanya!”
Kupercepat langkahku kembali menuju pintu kegereja, kurasakan tubuhku kembali terangkat kedua kalinya. Kali ini dengan kepalaku yang membelakangi tengkuk Johan. Apa-apaan ini? Sekeras apapun aku mendorong tubuhku, kekuatanku tidak mampu melawan tubuhnya sudah menahanku dengan kuat. Dia memasukkanku kedalam mobil dan masih merangkulku erat, kuyakini penampilanku kini berantakan habis-habisan. Basah dan dingin itu yang kurasakan, setengah tubuhku merasakan kehangatan rangkulan Johan.
“Kita harus kembali kerumah sakit.” katanya menyentakku.
Aku hanya diam, tenggelam dalam tangisku.
“Jika perasaanmu sudah tenang, buka e-mailmu. Disana kamu akan tahu tentang perasaan Hendri.”
Aku mendongak melihatnya.
“Dia memberitahuku kemarin sewaktu mengantar undangan kekantor.”
Aku masih terisak, tatapanku bertanya-tanya padanya.
“Kumohon, jangan menyakiti dirimu begini.”
Aku kembali menunduk dalam rangkulannya, tubuhku terkulai lemas. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya tangis ini yang masih ada. Dirumah sakit, Tiya yang mengenakan gaun hingga selutut terlihat cantik. Namun wajah kelewat cemasnya itu menyambutku. Dan Johan memanggil dokter untuk memeriksa kondisiku. Sesaat setelah dokter memeriksaku dan kini tubuhku dilapisi baju pasien yang kemarin kukenakan membuatku terasa ringan. Samar-samar kudengar Tiya berkata-kata didepan pintu dengan nada tinggi. Entah apa yang dia omongkan dengan siapa aku tak tahu. Tak lama dia dan Johan masuk keruanganku, dengan wajah cemas dan marah jadi satu pada mimik wajah Tiya.
“Aku tahu kamu akan sebodoh ini Vic. Kalau tidak ada Johan, apa jadinya kamu didepan altar. Untung aku tidak kepemberkatan itu.” kata Tiya mengomeliku kali ini.
Aku tersenyum simpul menanggapinya.
“Sadarlah Vica. Kenali orang-orang perduli disamping kamu, jangan hanya fokus pada hal yang tidak bisa menjadi milikmu.”
Apa yang dikatakan Tiya sama sekali tak kumengerti.
“Aku ingin sendiri, tolong tinggalkan aku.”
Kataku, aku ingin sendiri dan membuka e-mailku seperti kata Johan. Tiya dan Johan mengangguk lemas, lalu segere meninggalkanku seorang diri diruangan ini. Kuraih ponselku yang kutinggalkan semalaman diruangan ini, segera kubuka emailku dan melihat pesan Hendri. Sangat banyak memenuhi layar ponselku, kutarik nafas panjang dan mulai membaca pesannya.
“Vica, kamu adalah teman wanitaku yang paling dekat denganku. Maafkan aku mengabaikan mu beberapa minggu ini. Maafkan aku yang tidak memberitahumu tentangku lebih banyak. Aku menyukaimu, sangat menyukaimu jauh sebelum kita benar-benar akrab. Aku ingin mnejadikanmu pacarku, tapi setelah kehadiran Milea keraguan meliputiku. Dan dia datang dengan membuatku kembali jatuh hati padanya, maafkan aku tidak pernah memberitahukan ini padamu.”
Aku menutup mulutku, tak percaya dengan pesannya ini. Aku benarkan dia menyukaiku, dan wanita itu jahat menghalangi dia. Kembali kubaca pesannya.
“Awalnya aku menyakinkan diriku untuk serius denganmu, nyatanya hatiku tidak bisa kubohongi. Dia datang padaku dengan cintanya membuatku yakin bahwa yang harus kumiliki bukan kamu melainkan Milea. Beberapa bulan lalu, setelah reuni sekolah dia tidak mengabariku dan sebulan yang lalu dia kembali dari Amerika dan mengatakan dia telah melahirkan anakku. Aku benar-benar tidak yakin, karena hanya sekali saja aku melakukan kesalahan itu, dia meyakinkanku dan membuktikan bayi itu anakku. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, aku akan menikahi dia.”
Hah?! anak?!!! wahh benar-benar.. aku tidak percaya ini.
“Maaf dengan ciuman dipantai waktu itu, aku merasa bersalah karena menciummu, saat itu aku benar-benar belum menemui Milea dan mengetahui kebenarannya. Maaf tidak meresponmu, karena Milea menahanku untuk mengubungimu. Dan hanya ini yang bisa kulakukan, memberitahumu pernikahanku. Aku akan menikah seminggu lagi, undangan akan kuantar sendiri kepadamu. Kumohon jangan lagi mengaharapkanku, aku tidak lagi bisa menyukaimu. Aku punya kebagiaanku sendiri sekarang, jika undangan itu sudah kamu terima. Datanglah dengan hati ikhlas dan kenakan gaun yang pernah kuberikan untuk mu saat kencan pertama kita. Aku akan lega jika kamu mengenakannya. Dan mungkin setelah aku menikah aku akan ke Amerika menemui anakku dan hidup disana, lupakan aku sebagai pria yang pernah mampir dihidupmu. Berbahagialah Vica.”
Kubanting asal ponsel itu dari tanganku, tidak terima dengan semua ini. Jika saja aku tidak sakit seperti sekarang mungkin aku bisa berbicara langsung dengan Hendri saat dikantor. Tiya yang menyadari suara bantingan ponselku membuka pintu ruangan penuh panik dan segera menuju diriku dan merangkulku. Tangisku memecah kesunyian ruangan ini, benar-benar menyakitkan. Tidak bisakah aku mati saja? Aku lelah dengan percintaan yang selalu berakhir tragis seperti ini.
Berkali-kali dan sekian kali, aku tersakiti karena cinta-cinta bodoh ini. Aku lelah, aku marah, aku kecewa, kenapa aku tidak pernah mendapat akhir yang bahagia dengan kisah cintaku ini? Tiya mengelus-elus pundakku, entah kenapa dia ikut menangis denganku. Dia seperti merasakan tangis dan goresan menyakitkan dihatiku saat ini.
Johan berdiri mematung didepan ranjangku, dia tidak bergeming sama sekali. Aku hanya menangis di hadapannya, dia sesekali melihatku dengan wajah sendunya. Dia pria pertama yang melihatku serapuh ini, persetan dengannya, kenapa dikondisi seperti ini dia ada disini, aku malu dengan kondisi menyedihkanku yang sekarang. Imageku jelek sekali didepannya, bodo amat. Aku sudah semenyedihkan ini, biarlah dia disana. Kehadirannya tidak mengubah apapun.

Bab V.
Suasana ruangan ini sangat sepi jika pagi hari, menunggu siang hari nanti ruangan ini akan dipenuhi beberapa orang yang datang hanya sekedar menikmati kopi dan beberapa menu makanan ringan lainnya yang tertera diatas bar. Aku duduk disalah satu bangku disudut ruangan ini, musik R&B yang selalu terputar diruangan ini memenuhi gendang telingaku dengan lembut.
Seorang pekerja paruh waktu yang bekerja ditempat ini mendatangiku, menyodorkan amplop putih kepadaku.
“Ibu, ini surat dari perusahaan yang waktu itu, sepertinya mereka mau memesan chatering lagi dari restoran ini.” kata gadis umur duapulahan didepanku yang bernama Nita.
“Ohh yaa? Sekretaris waktu itu datang kesini?”
Dia mengangguk lalu ikut duduk bersamaku.
“Iya, dan ini konsep kegiatan mereka. Katanya konsep itu sesuai dengan menu yang ada direstoran ini.”
Kupengangi daguku berfikir sejenak. Kenapa Tiya masih saja meminta restoranku membuat chatering untuk perusahaan yang sudah kutinggal hampir setahun itu? Dia mengasihaniku hanya karena restoran ini ramai pada siang dan malam hari saja? Aku mengangguk didepan pegawaiku.
“Oke. Bisa. Hubungi mereka dan katakan kita bisa membuatnya.”
Dengan semangat Nita menuju telfon yang ada dibar dan menghubungi nomer yang ada didalam surat tadi. Dia satu-satunya karyawan yang ada direstoranku, cukup dia saja. Restoran ini lumayan besar dangan dua puluh kursi couple yang berbentuk kayu. Aku memutuskan untuk membuka restoran ini setahun lalu setelah pulih dari sakitku, aku tak ingin bekerja dikantor itu membuatku cepat bosan. Tiya dan Johan mendukungku, dan akhirnya aku berakhir direstoran ala anak muda ini. Jam menunjukkan pukul sebelas siang, tandanya aku dan Nita harus berdiri dibar dan menunggu pelanggan datang.
Siapa sangka, pelanggan tetapku datang. Johan. Dia selalu datang untuk makan siang direstoranku. Dan Tiya tidak datang dengannya siang ini, kemana wanita itu? Dia sibuk dengan pekerjaannya yang sudah naik pangkat kini?
“Kenapa nggak bawa Tiya?” tanyaku menyambut kedatangan Johan yang langsung memilih menu diatas bar.
“Dia sibuk.” singkatnya.
Aku tertawa mendengarnya.
“Ya kalau bukan kamu yang suruh dia sibuk, dia nggak akan sibuk.” kataku.
“Chiken crispy satu, dan coco latte satu.” katanya memesan.
“Dia palingan bentar datang. Cuma satu proposal aja kok.” lanjutnya.
Aku mengetik pesanannya dikomputer dan mengeluarkan struk. Nita Menghampiriku dan mengambil struk itu untuk membuatkan pesanan Johan.
“Ohh yaa? Kamu nggak mempersulit dia-kan dikantor?” tanyaku sambil mengisi coco latte dalam gelas cup ditanganku.
“Yaa nggaklah, ngapain buat dia sibuk. Sekretarisku bukan dia aja kok, jadi kerjaan dia nggak sesulit itu..” jelasnya.
“Gimana rasanya jadi direktur periklanan diperusahaan itu?” tanyaku lagi.
Sudah meletakkan gelas cup ukuran jumbo itu diatas nampan didepan Johan yang masih berdiri menyender dibar.
“Yaa lumayan, sibuk dengan ini dan itu. Ini baru tiga bulan, dan tidak seburuk itu.”
“Iyaa, jabatan direktur itukan impianmu dari awal masuk kerja.”
Dia mengangguk seraya tersenyum mengembang. Dia bangga dengan pekerjaanya itu, mungkin jika aku masih bekerja disana kami bisa saja bersaing memperebutkan posisi direktur di cabang periklanan itu. Nita datang membawa pesanan makanan Johan dan menaruhnya diatas nampan. Johan membawanya menuju meja favoritnya disebelah jendela. Aku mengikutinya, dan duduk didepannya.
Benar kata Johan, Tiya datang dengan wajahnya yang kusut. Kurasa satu proposal yang dikatakan Johan tadi adalah satu dari sekian proposal. Dia berusaha tersenyum didepanku. Kuhampiri dia, dan memeluknya seperti biasa. Aku langsung memesankannya makanan kesukaannya dilayar komputer. Dan meminta Nita mengantarkannya kemeja tadi. Mereka menceritakan kesibukan mereka seperti biasanya dan memperdebatkan urusan kantor di restoranku yang tida ada sangkut pautnya dengan pekerjaan mereka.
-oOo-
Hari mulai senja, dan Nita ijin untuk pulang. Karena dia akan kembali bekerja jam 8 malam nanti. Restoran ini kubuka jam 9 pagi dan tutup jam 5 sore, akan buka malam hari jam 8 hingga jam 11 malam. Aku mengaturnya demikian karena jarang ada pelanggan direstoran ini, Nita juga bisa menyesuaikan dengan jam kerja ini. Dia mahasiswa tahun terakhir, dan aku tidak ingin menyulitkan dia. Dia bekerja disini karena sesuai dengan jadwal kuliahnya. Dia akan kugaji sesuai jam kerjanya, terkadang jika dia benar-benar sibuk dengan skripsinya. Dari pagi hingga malam aku seorang diri melayani pengunjung yang datang. Tiya kadang membantuku saat malam hari, karena pelanggan banyak pada malam hari.
Tiga jam kedepan aku akan sendirian disini. Kuputar papan berukuran 10 kali 7 senti yang ada dipintu restoranku dengan tulisan tutup. Aku harus istirahat, tempat tinggalku ada dilantai atas restoranku. Setahun yang lalu gedung ini kubeli dengan tunai sekalian dengan gedung diatasnya. Agar tidak mencari rumah lagi.
Kurebahkan tubuhku dikasur, menutup mataku sejenak tenggelam dalam rehatku. Dua hari lagi umurku menginjak 29 tahun. Bunda yang ada dikota lain bersama Ayah sudah mengirimkan kuhadiah jauh-jauh hari. Kini hadiah itu ada terpajang dimeja depan ranjangku. Sebuah televisi ukuran lebar memenuhi dinding. Aku jarang menonton Tv kenapa mereka repot-repot membelikan Tv? Di restoranku ada dua televisi. Ada-ada saja mereka, mereka tahu aku sudah punya segalanya namun mereka selalu saja membelikanku barang-barang yang terkadang tidak kuperlukan.
Bel rumahku berdering, dilantai atas ada beranda khusus tamu pribadi yang ingin kerumah lewat tangga disamping restoranku. Siapa jam segini memencet bel rumahku? Johan atau Tiya? Harusnya mereka masih dikantor jam segini. Kubuka pintu rumah, seorang pengantar barang berdiri sambil menyerahkan kotak berukuran sedang berwarna cokelat. Kutanda tangani tanda terima barang pada kurir itu, segera ia meninggalkan beranda rumahku.
Siapa yang mengirimi barang ini, kubawa masuk kotak ini dan memukanya. Mengejutkan isinya sebuah kotak sepatu, siapa pengirimnya. Aku lupa melihat pengirimnya pada kertas yang kutanda tangani tadi. Hadiah ulang tahunku? Isi note yang menempel pada heels berwarna peach ini. Warna ini mengingatkanku pada kejadian pahit dihidupku.
Bayang-bayang kejadian dialtar gereja muncul dibenakku begitu saja, menari-nari dan kembali menoreh kepedihan. Aku kadang memikirkan Hendri, kadang. Memikirkan dia membuat pandanganku memburam dan air mata mengalir begitu saja. Apakah dia yang memberikan sepatu ini? Dia ingat jelas ternyata warna yang kupakai sejak ingin mengagalkan pernikahannya. Kenapa dia mengirimkan hal seperti ini padaku? Bukankah dia harusnya tidak membuatku memikirkan dia begini?
Kenyataanya dia sudah beristri dan memiliki anak, membuatku terkadang berhenti memikirkannya dan menerima semuanya, batinku selalu saja menolak kenyataan itu. Kulempar asal kotak cokelat itu, dan kembali kekamar untuk menangis sepuasku. Setelah selesai menangis aku harus kembali kebawah, restoran harus kubuka jam 8 nanti.

Bab VI.
Tiya dan Johan yang dibantu Nita sudah merencanakan acara ulang tahunku. Mereka menghias ruangan ini selagi aku tidur. Mereka benar-menar berhasil memberi suprise padaku. Berlebihan sekali mereka membuatku meniup lilin sebanyak umurku diatas kue berukuran persegi yang lumayan besar bertuliskan “Sweet 29 dear Jevica have a nice old”. Kutiup dengan payah lilin yang hampir membuatku kehabisan nafas. Suara tepuk tangan mengisi restoranku. Hanya ada kami berempat yang ada direstoran ini, setidaknya masih ada yang mau merayakan ulang tahunku.
Tiya memelukku dan mengucapkan doa-doanya ditelingaku, begitupun Nita, berbeda dengan Johan dia dari tadi memanyunkan bibir tipisnya itu walaupun sudah mengucapkan selamat. Heran melihatnya begitu, dan hanya dia yang tidak menyerahkan hadiah kepadaku. Aku melihatnya menyelidik.
“Hadiahku mana?” tanyaku rese, menuntut seperti anak kecil.
Wajahnya sendu. Tiya melihat kami bergantian, Nitapun begitu.
“Aku pikir kamu bakalan pakai heelsnya.”
Aku tertegun mendengarnya. Heels? Itu pemberian Johan? yang kulempar asal dua hari yang lalu dilantai. Belum kusentuh sama sekali.
“Ahhh, itu pemberian kamu?” responku merasa bersalah.
Dia mengangguk lemah, kusenggol pergelangannya dari samping. Tubuhnya tehuyung begitu saja.
“Bentar kupakai…” aku segera berlari menuju kelantai atas.
Berusaha mencari kotak cokelat itu, dan segera kupakai heels peach itu dan kembali turun. Senyum mengembang Johan setelah melihatku memakainya terlihat dibibir tipisnya.
“Jadi udah jauh-jauh hari nih ngasih kadonya? Ehm…” ucap Tiya menyinggung.
Johan tertunduk seraya tersenyum malu. Ada-ada saja dia.
“Udah Iyy, jangan buat dia malu. Makasih ya heelsnya. Aku suka..” kataku lalu menepuk bahunya.
Dia menengadah kearahku, dengan senyum mengembang itu. Restoran malam ini sengaja kututup karena acara ini tidak akan berhenti jika tidak ada yang mabuk dari kami berempat, untungnya Nita sudah dewasa dia bisa ikut menimati beer yang ada depan kami tanpa kukhawatirkan.
Kami bermain-main sambil meneguk kaleng-kaleng beer diatas meja. Entah sudah berapa kaleng yang diminum Nita hingga dia berakhir disalah satu meja tertidur pulas. Tiya dan Johan masih melanjutkan permainan mereka, aku sudah setegah sadar dengan kemabukan akibat tujuh kaleng beer yang kuminum. Namun aku masih berusaha ikut bermain dengan mereka berdua. Alhasil Tiya tumbang dikalengnya yang ke sepuluh, dia benar-benar mabuk dan tidur disofa dekat dengan jendela.
Sedangkan aku dan Johan melanjutkan permainan tadi, bukan menang dan kalah. Ini tentang konsentrasi. Mana ada yang bisa berkonsentrasi ditengah mabuk begini, tapi itulah permainan ini dimainkan dikala mabuk. Entah sudah berapa kaleng yang kuhabiskan, aku mulai ngelantur dengan permainan ini dan Johanpun terlihat sama.
Kurasakan Johan memengangi pergelanganku, dan berbisik sesuatu ketelingaku. Entah apa tak kudengar sama sekali, lalu kehangatan menyentuh bibirku. Lembab dan kubalas dengan lembut bibir Johan yang kini menempel dengan bibirku. Kami berciuman, aku menikmati ini. Aku tidak memikirkan apa-apa, aku hanya merasakan Johan memerlakukanku dengan lembut.

Bab VII.
“Vicaa… bangun..” suara Tiya menggema ditelingaku.
Kubuka mataku dengan memicingkan mata sangat dalam. Silau sekali ternyata. Aku bangun dan mendapati tubuhku terbaring dilantai. Tiya membantuku berdiri, kulihat disekeliling, Nita masih tidur di meja, dan Johan tidur tergeletak agak jauh dari tempatku tidur tadi.
Aku dan Tiya tiba-tiba tertawa bersamaan. Menyadari betapa konyolnya keadaan kami sekarang.
“Benar-benar gila.. hahha” kata Tiya, lalu dia menuju Johan dan membangunkan Johan.
Aku menghampiri Nita dan membangunkannya, dia harus pulang dan membersihkan dirinya. Karena restoran ini akan buka sejam lagi. Nita bangun dan langsung menuju westafel didalam dapur membasahi wajahnya menyegarkan pandangannya. Dia segera pamit untuk pulang. Johan yang bangun langsung melakukan hal yang sama seperti Nita, dan dia menuju kulkas meneguk habis satu botol air mineral dingin ditangannya. Hanya aku dan Tiya yang masih pada kondisi berantakan kami. Kami kembali tertawa.
“Kalian harus pulang.” kataku pada mereka berdua.
Johan mengangguk dan menatapku dengan senyum mengembang dipipinya. Ada apa dengan tatapan itu. Mereka berdua akhirnya meninggalkanku sendiri disini, dan aku harus kembali keatas untuk membersihkan diri.
Air dingin yang membasahi kepalaku kini membuat segar. Tunggu! Ingatan apa ini? Ingatan semalam hadir dikepalaku setelah shampo dengan aroma bunga sakura ini memenuhi kepalaku. Aku ciuman dengan Johan? Hah! Gila!!! berkali-kali aku menggeleng melepas pikiran ini. Nihil, ini adalah kejadian semalam. Dimana Johan menciumku dan aku membalasnya membuat kami beruda berakhir dilantai restoranku pagi tadi.
Wah! Benar-benar gila. Aku mengidik ngeri mengingat kejadian mabukku semalam. Aku tahu aku sudah tidak pernah ciuman lagi, tapi kenapa aku begitu merasakan kehangatan karena ciuman itu dengan Johan yang jelas-jelas tidak pernah terfikirkan olehku. Bodoh!
Selesai dengan ritual pagiku, aku segera turun ke restoranku dan membuang jauh-jauh pikiranku dengan menyibukkan diri mempersiapkan restoranku. Ponselku berdering diatas bar. Mengagetkanku yang sedang mengatur menu dilayar komputerku. Whatsapp dari Johan, wah.. entah kenapa jantungku tiba-tiba berdetak tak karuan.
“Aku serius, jika kamu ingat. Aku akan memastikannya.”
Ada apa dengannya? Apa dia menyukaiku? Hahah idiot!
“Aku ingat. Dan jangan mengungkitnya. Tidak penting.”
Kubalas pesannya. Tertera warna biru bercentang dua diruang obrolan.
“Aku akan memastikannya.”
Balasnnya membuatku merasa aneh. Tak ingin kubalas pesan Johan, kenapa dengannya? Itu hanya ciuman karena mabuk, nggak ada apa-apa disana. Aku kembali fokus pada komputer didepanku.
Seperti hari-hari sebelumnya, Johan datang ke restoran ini dijam makan siang. Aku merasa ada kecanggungan disini, apa karena aku yang menciptakan kecanggungan ini? Bersikaplah seperti biasanya Vica. Johan menghabiskan makan siangnya sendirian dimeja favoritnya, Tiya tidak bisa menemaninya lagi pasti karena kesibukannya sebagai sekretaris Johan dikantor.
Setelah makan siang, dia menghampiriku dibar dan menatapku intens.
“Bisa kita bicara?”
“Ngomong aja..”
“Tapi nggak disini.”
“Dimana?”
Johan menunjuk kearah atas, apa yang mau dia bicarakan hingga harus kerumahku? Jika tentang tadi malam aku harus memarahinya.
“Ini mengenai ciuman kita semalam.”
Benar kataku. Aku malas membicarakan ini.
“Dengarkan aku Vica..” dia menahan lenganku, lalu membuatku kembali ketempatku berdiri.
“Apa Johan? Aku tidak pernah kepikiran kamu bakalan begini sama aku.”
“Aku tahu kamu kecewa, maafkan aku. Aku tidak sadar, aku nggak bisa nahan diri aku lagi semalam. Maaf.”
Apa menahan diri katanya? Hah! Dia sudah memiliki pikiran mesum begini padaku? Kutampar wajah tirusnya, tanganku terasa perih. Dia masih menatapku setelah tamparan itu.
“Kamu boleh nampar aku, kamu berhak marah.”
“Apa maumu Johan? Aku pikir kita ini teman, ada apa denganmu? Kamu menyukaiku? Iya?!”
“Kalau ya? Bisa berikan aku ruang untuk masuk kehatimu?”
Aku tertegun mendengarnya, tanganku yang kukepalkan tadi mulai meregang. Kata-katanya menyentakku.
“Apa maksudmu?”
“Aku menyukaimu. Benar-benar menyukaimu.”
Katanya penuh kebanggan, aku masih tidak mengerti dengan sikapnya. Kenapa dia? Angin apa dia menyukaiku?
“Bisa kuyakinkan kamu sekali lagi?”
Aku belum menjawabnya, bibir kami kembali bertemu. Dia menciumku dengan lembut seperti tadi malam. Aku tidak boleh terbawa lagi kali ini, kudorong tubuhnya. Dia berhasil merangkul pinggangku. Merangkulku dan menenggelamkanku dalam tubuh bidangnya.
Haruskah aku membuka hatiku untuk pria yang selalu ada disisiku kini dan yang sudah menciumku lebih dari dua kali ini dan kehadirannya tidak pernah sama sekali menggetarkan hatiku? Musthail! Aku sudah tidak bisa membuka hatiku lagi setelah kejadian yang benar-benar menghancurkan hatiku berkeping-keping.
Aku berusaha melepas pelukan Johan, entah kenapa aku menangis seperti pengecut menyerah mendorongnya. Aku takut akan tersakiti lagi, aku sudah menyerah dengan cinta-cinta bodoh itu selama ini. Hentikan Johan! Aku sudah muak dengan perasaanku sendiri.
“Tenanglah. Aku berjanji tidak akan menyakitimu. Mendapatkan cinta sempurna memang tidak gampang Vica.. kamu hanya perlu seseorang yang lebih mencintaimu.” katanya sambil mengelus kepalaku yang masih dalam pelukannya.
“Berikan aku kesempatan untuk menyenangkanmu.” pintanya.
Aku tak bisa menjawab, malah masih tenggelam dalam peluknya.
“Jika kamu diam, berarti yaa..”
Aku tak menjawab.
“Kita pacaran mulai hari ini. Seratus kencan kedepan, aku harap kamu menerimaku.”
Aku menangis dipelukkannya, pria ini. Memberikanku harapan seperti pria-pria lainnya yang pernah hadir dan pergi dengan tidak menghargaiku. Jika dia seperti pria-pria lainnya, akan kupastikan akan mengakhiri hidupku. Atau akan menjadi biarawati digereja seumur hidupku.

Epilog
Sudah seratus kencan kami lewati selama pacaran, aku menyebut “kami” yaa.. aku dan Johan. Aku menjalin hubungan seratus kencan selama seratus duapuluh satu hari dengannya, dia membuatku terkagum-kagum setiap harinya. Tiya benar, aku harusnya memerhatikan orang-orang yang lebih perduli kepadaku. Seperti Johan, dia perduli padaku. Jika tanpa dia, mungkin bisa saja aku berakhir dirumah sakit jiwa karena gila dengan cintaku yang selalu gagal.
Johan juga benar, aku harus menerima dia yang lebih mencintaiku. Karena jika kita lebih dicintai kebahagiaan itu selalu ada.
“Jika kamu masih ragu. Menikahimu adalah cara terakhirku untuk meyakinkanmu.”
Pintanya tengah melamarku dengan sebuah cincin logam mulia yang sangat menawan, aku mengangguk menerimanya dan dia mengenakan cincin itu dijari manisku. Dia mengangkat tubuhku, lalu mengecup bibirku. Tiya menangis haru melihatku, baru kusadari dia mulai mengenakan baju berukuran besar karena menutupi perutnya yang mulai membesar, suaminya yang tengah berdiri disampingnya ikut tersenyum bahagia melihatku dan Johan.
Dihari yang cerah, tanpa mendung. Aku dan Johan menikah dihalaman gereja. Pendeta yang memberkati Hendri dan Milea dua tahun lalu kembali memberkati pengantin, aku dan Johan. Kebahagiaan meliputiku, semua kenangan masalalu pahitku terangkat melambung tinggi dan menghilang.
Johan membuatku kuat melewati kenangan-kenangan bodoh itu, dan dia menjadi masa depanku yang cerah sekarang. Semua tamu undangan pasti merasakan kebahagiaanku sekarang. Tamu undangan itu sebagian mantan-mantan gebetanku yang sudah memiliki keluarga termasuk Hendri, dia memberikan dukungan padaku dan Johan.
Pernikahanku akan bahagia dengan Johan. Karena kami saling mencintai dan berjanji akan bahagia sampai maut yang memisahkan kami. Ini kisah happy ending yang kuinginkan, terimakasih padamu Johan, suamiku. Telah membantuku menemukan akhir yang bahagia.

-The End.
Hay hay Readers.. aku kembali lagi dengan cerita baru. Maaf membuat temen-temen nungguin cerita "First Love, Maybe.." dan aku tiba-tiba terbitkan cerita baru lagi. Tapi tenang aja, jumat nanti bakalan aku publish kok. Terimakasih sudah menjadi pembaca di blog aku. 
NO COPY PASTE !!!!!! share. bayeee....

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Another Absurd Romance

INI UNTUKMU

Another Absurd Romance